Kuala Lumpur (ANTARA News) - Indonesia perlu memboikot pengiriman pembantu rumah tangga(PRT) ke Malaysia jika payung hukum perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menjadi PRT tak ditingkatkan menjadi "Memorandum of Agreement" dan perlakuan terhadap TKI masih dinilai tak manusiawi dan cenderung merendahkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Hal itu terungkap dalam seminar "Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia: Pasca Penandatanganan MoU Sektor Formal dan Informal", Minggu, di Kuala Lumpur, yang diselenggarakan Partai Demokrat dengan pembicara Ketua DPP Partai Demokrat, Kombes Pol (Purn) Nurfaizi MM, Wakil Dubes RI untuk Malaysia A Mohamad Fachir, Prof Dr Shanti Thambiah dan Maimunah Hamid Merican dari University Malaysia dan Muhammad Iqbal dari KBRI. "Saya kira perlu digaungkan agar pemerintah Indonesia menyetop pengiriman PRT ke Malaysia hingga perlindungan terhadap mereka jelas, artinya diatur dalam kontrak yang jelas mengenai gaji, jam kerja, jatah libur, kebebasan untuk beribadah, dan penyelesaian hukum yang cepat dan adil bila ada perselisihan antara majikan dan PRT," kata Wakil Sekjen Partai Demokrat, G Radityo Gambiro. Ia mengatakan hal itu karena merasa terpanggil begitu mendengar kasus-kasus TKI di Malaysia yang cenderung merendahkan harga diri dan martabat bangsa Indonesia. "Kami di Indonesia tidak banyak mendengar perlakukan TKI yang menjadi PRT di Malaysia. Dan baru kali ini banyak mendengar dengan komprehensif," tambah Radityo. Sementara itu, Nurfaizi dan Wakil Dubes RI untuk Malaysia membandingkan perlindungan hukum antara pemerintah Indonesia dengan Hongkong, Taiwan, dan Malaysia yang berbeda. Perjanjian mengenai perlindungan terhadap TKI antara Indonesia dengan Hongkong dan Taiwan sangat memadai, sementara di Malaysia, yang katanya serumpun, masih jauh memadai. "Pemerintah Hongkong dan Taiwan sangat jelas mengatur apa hak dan kewajiban majikan terhadap PRT, misalkan gaji, jam kerja, hak cuti, dan hak beribadah diatur dengan rinci. Bila ada perselisihan dan majikan melanggar aturan, maka dapat dikenakan sanksi, tapi MoU (nota kesepahaman) antara Indonesia dan Malaysia kurang mengatur hak dan kewajiban dari majikan serta sanksi jika ada pelanggaran," kata Fachir. Sementara itu, akademisi dari University of Malaysia Prof Dr Shanthi Thambiah dan Maemunah Hamid Merican mengatakan PRT di Malaysia ini tidak diakui sebagai pekerja dalam UU Pekerja tahun 1955 dan juga tidak diberi perlindungan asuransi selama bekerja. PRT lebih dianggap sebagai pekerja informal. "Oleh karena tidak ada aspek perlindungan dari UU Ketenagakerjaan di Malaysia dan juga tidak ada kontrak kerja yang jelas antara majikan dengan PRT atau agennya, maka PRT sering dilanggar haknya, misalnya menerima penyiksaan, pelecehan seksual, tidak dibayar gajinya dan paspor dipegang oleh majikan," kata Maemunah. Bila ada perselisihan, sistem pengadilan Malaysia juga kurang mendukung PRT. "Jika ada penyiksaan dan PRT melaporkan kepada polisi, maka PRT itu tidak boleh bekerja sambil menunggu proses pengadilan selesai. Ketika menunggu proses pengadilan, ia harus mengajukan kartu penduduk khusus ke imigrasi dan membayar 100 ringgit (sekitar Rp250.000) dan itu harus diperpanjang setiap bulan sebesar 100 ringgit. Bagaimana PRT punya uang? Tidak boleh bekerja selama proses pengadilan dan selama belum selesai ia harus memperpanjang kartu khusus dengan harga 100 ringgit ke imigrasi," ungkap Maimunah. Muhamad Iqbal yang menjadi konsultan Migran Worker KBRI mengemukakan kasus Nirmala Bonet membuat PRT asal Indonesia enggan melaporkan majikannya ke polisi dan pengadilan. "Kasus Nirmala Bonet sudah berjalan tiga tahun lebih. Pengadilan Negeri Malaysia saja belum ada keputusan. Selama tiga tahun Nirmala mendekam di penampungan KBRI. Ia sudah bosan dan ingin pulang. Kerjanya makan, tidur dan bengong. Ia tidak boleh keluar dari penampungan KBRI, sementara yang menyiksa boleh keluar penjara dengan jaminan, bahkan bisa pergi ke mana-mana," ungkap Iqbal. (*)
Copyright © ANTARA 2007