Oleh John Nikita S. Jakarta (ANTARA News) - Samin adalah komunitas yang mendiami sejumlah kawasan di daerah antara Kabupaten Pati dan Blora, Jawa Tengah. Pada masa silam, mereka hidup dengan budaya ekslusif dan cenderung menghindari orang luar. Kata Samin berasal dari Samin Surosentiko, seorang ningrat asal Randhublatung, Blora, yang lebih dikenal sebagai Raden Kohar (1859-1914). Tahun 1890, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, Samin mulai menyebarkan ajarannya dan mengajak masyarakat di Blora, Pati, Rembang, Purwodadi, Bojonegoro, Madiun, Kudus, dan sejumlah kota lainnya menolak program perluasan hutan jati. Belakangan, ajarannya berkembang menjadi gerakan batin yang menentang segala formalitas, termasuk lembaga sekolah dan pernikahan, pembayaran pajak, administrasi negara dan sejumlah hal lainnya di masyarakat yang lebih lumrah. Orang Samin lebih mengutamakan keharmonisan hidup dan keselarasan dengan alam. Mereka pidak penah menikah melalui Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil, tetapi jarang sekali terjadi perceraian dalam rumah tangga yang telah mereka bangun. Komunitas ini juga tidak memeluk agama tertentu, bahkan bisa dikatakan tidak kenal Tuhan layaknya konsep kebanyakan orang. "Tuhan? Kamu pernah ketemu Tuhan? Kalau sudah pernah boleh kamu bicara (tentang) Tuhan." Kalimat itu terlontar dari mulut Mbah Tarno, pria tertua di kalangan orang Samin, ketika dijumpai di rumahnya di dukuh Karangmalang, Baturejo, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Mbah Tarno lahir pada 1908, dan masih cukup sehat sampai sekarang. Ia lancar berbicara meski hanya bisa berbahasa Jawa, dan pendengarannya pun masih cukup baik. Sebagai sesepuh, ucapannya sangat disegani anggota komunitas itu.Komunitas Samin adalah kekayaan budaya, aset di antara ribuan ragam kultur masyarakat Indonesia, begitu kata seniman WS Rendra. Rendra mengaku kagum akan budaya dan cara hidup orang Samin, yang mencintai kerukunan, kejujuran, dan kebaikan. "Meski tidak beragama, mereka tidak pernah korupsi dan selalu berbuat baik kepada semua orang, bahkan ketika orang lain menyakiti mereka," kata si "Burung Merak". Rendra berusaha untuk mengenal dan memahami cara hidup orang Samin karena ia dipercaya untuk memerankan tokoh Mbah Tarno dalam film "Lari Dari Blora" produksi Ibar Pictures dengan sutradara Akhlis Suryapati. Ia mengakui tertarik dan menerima tawaran main dalam film tersebut karena sifatnya yang mengangkat nilai-nilai budaya. Apalagi, katanya, saat ini tidak banyak orang yang mau mengangkat tema budaya untuk produksi film dengan alasan film seperti itu tidak laku. Padahal, kekayaan budaya dapat diangkat melalui kisah-kisah menarik yang laku dijual. Menurut Rendra, saat ini sedikit sekali orang yang peduli pada budaya bangsa, tidak pengusaha, tidak pejabat pemerintah, tidak pula politikus. Di industri film, semua bicara tren dan mendahulukan keuntungan, dan bukan kebanggaan sebagai pendukung kelestarian budaya dan seni tradisional. Ucapan senada diungkapkan produser Egy Massadiah dan Akhlis, yang juga penulis skenario "Lari Dari Blora". Keduanya sahabat karib, sejak masih sama-sama bekerja sebagai wartawan tahun 1980-an.Meskipun bukan film gampangan, seperti kisah-kisah cinta dan pergaulan bebas kaum remaja dan anak muda, Akhlis mengatakan bahwa dirinya dan juga para pemain maupun kru bekerja cukup santai. Tidak seperti apa yang disebut "bekerja dengan darah dan air mata". Diakuinya, semua pendukung bekerja dengan senang, kendati memang melelahkan, karena harus bolak-balik Jakarta-Pati. Hal apa dikatakan Akhlis dibenarkan oleh Ardina Rasti dan Annika Kuyper, dua pemeran utama film tersebut. "Aku senang, karena bisa melihat dan merasakan langsung bagaimana kehidupan budaya Samin," kata Annika. Sementara itu, Ardina mengaku mendapatkan berkah. "Di sini aku bisa jalan-jalan di desa dan terbebas dari asma yang biasanya ngerepotin banget," ujarnya. "Lari Dari Blora" mengisahkan petualangan Cintya (Annika), seorang gadis Amerika Serikat (AS) yang sedang patah hati dan "melarikan diri" ke Desa Samin untuk melakukan riset kebudayaan. Pada saat ia masuk ke desa, Bongkeng (Andreano Phillip) dan Sudrun (Oktav Kriwil), dua pelarian Penjara Blora menyusup ke desa untuk bersembunyi dari kejaran aparat. Si Mbah (WS Rendra), yang mengetahui keberadaan kedua buronan, tidak melapor ke polisi, tetapi ia menasehati mereka untuk menjadi orang baik. Di sini Akhlis mencoba menggambarkan sifat orang Samin yang tertutup, tetapi sekaligus juga ingin mengubah orang jahat menjadi baik. Namun, di dalam film, lolosnya kedua narapidana justru menimbulkan isu negatif bahwa Desa Samin adalah sarang penyamun. Pada cerita lain, Ramadian (Iswar Kelana) tampil sebagai guru. Ia berusaha mengubah cara pikir orang Samin yang hanya mementingkan sekolah kehidupan, budi pekerti dan kerja halal, tanpa perlu sekolah formal sehingga semuanya buta huruf. Kedatangan Cintya membuat si guru muda semakin bersemangat melaksanakan niat menyekolahkan anak-anak Samin. Kedekatannya dengan gadis bule itu memancing kecemburuan kekasihnya, Hasanah (Ardina Rasti), putri pak camat. Hubungan segitiga Ramadian, Cintya, dan Hasanah inilah yang diangkat Akhlis untuk menekankan unsur drama romantis dalam debutnya sebagai sutradara film layar lebar. Ia juga mengungkapkan adanya keinginan liar dalam pribadi anak muda Samin dalam mengikuti pergaulan modern. Dalam komunitas Samin, pernikahan terjadi ketika seorang pemuda jatuh hati kepada seorang gadis dan meminta izin dari orang tua si gadis untuk menikahinya. Dekat dengan istilah umum, jodoh di tangan orang tua. Tetapi, Akhlis menyisipkan kisah asmara Heru (Fadly) dan Wati (Tina Astari) yang bergaya modern, termasuk melakukan hubungan seks pra-nikah. Sang sutradara menyebut itu semua siasat komersialisasi "Lari Dari Blora", tidak membiarkannya menjadi sebuah produk film dokumenter.Ketimbang mejualnya dalam bentuk DVD/VCD ke kampus-kampus, Ibar Pictures pun sangat yakin untuk mengedarkan film "Lari Dari Blora" ke jaringan Bioskop 21. Akhlis mengaku sudah melobi pengelola jaringan bioskop terbesar di Indonesia tersebut. Kendati ini merupakan karya film layar lebar pertamanya sebagai sutradara, kekuatan sang sutradara boleh dipercaya. Ia adalah seorang wartawan senior, pemerhati film, ketua umum Senakki (Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia), dan anggota LSF. Pria kelahiran Pati 1958 ini pernah menghasilkan beberapa produk tayangan televisi, di antaranya Wayang Mbeling (Serial TV-Scorta), Cagar Kehidupan (skenario sinetron lepas TPI), Hari-Hari Syafei (skenario docudrama TV-TV ASEAN). Ia juga menulis skenario sinetron Kicau-Kicau (RCTI), Bunga Pesisir (ANTV), Mr Hologram (Indosiar), Buletin Sinetron RCTI (sutradara dan skenario), Komedi Putar (TVRI, 15 episode), dan Jalan Takwa Renternir (Sinemart-SCTV) Saat ini, syuting "Lari Dari Blora" diklaim Akhlis telah selesai lebih dari 50 persen, mengambil lokasi di Jakarta,Blora, Pati, Rembang dan Jepara. Rencananya, film ini diedarkan bulan Oktober 2007. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007