"Masyarakat memiliki hak kebebasan berpendapat dan mendukung pasangan yang dipilih. Pernyataan Bawaslu tidak sejalan dengan kebebasan berekspresi," kata Anggawira melalui pesan singkat, Selasa.
Alih-alih melarang penggunaan jejaring sosial, Bawaslu seharusnya menindak buzzer-buzzer yang membuat akun anonim di media sosial dan menyalahgunakan kebebasan berpendapat di jejaring sosial, sambung dia.
Menurut Angga, akun-akun anonim para buzzer itu dibuat dengan tujuan memprovokasi dan menjatuhkan salah satu pihak. Akun-akun anonim inilah yang perlu diatur dan dikendalikan, jangan malah merugikan masyarakat yang tidak terlibat dalam kampanye hitam.
"Bukan malah mengekang kebebasan masyarakat dalam bersuara. Selama akun tersebut adalah formal dimiliki masyarakat secara pribadi, mereka memiliki hak untuk berpendapat," kata dia.
Angga menyarankan Bawaslu lebih peka terhadap perkembangan teknologi. Dalam konteks kampanye, media sosial sangat efektif dalam menyampaikan program kerja, ide dan gagasan setiap calon kepada masyarakat luas.
"Masyarakat sekarang memang cenderung lebih percaya kepada isi di media sosial dari pada spanduk-spanduk atau poster yang dipasang di jalan. Kita bisa mengambil contoh kecil bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi populer di masyarakat luas karena sering diperbincangkan oleh netizen di jejaring sosial," kata Anggawira.
Sebelumnya, Komisioner Divisi Bidang Hukum dan Penindakan Pelanggaran Bawaslu Muhammad Jufri sempat menyatakan akun-akun media sosial yang digunakan untuk berkampanye harus terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Bawaslu juga akan menelusuri akun-akun media sosial yang diduga melakukan kampanye tanpa izin dengan ancaman pidana sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016