Ucapan terima kasih disampaikan Jokowi kepada para ulama, umat Islam dan aparat keamanan yang ikut andil dalam menjaga dan mengawal jalannya perhelatan di pusat pemerintahan itu sehingga berlangsung tertib dan aman.
Publik pun, baik di dunia riil maupun jagat maya, memberi respek dan apresiasi kepada Presiden yang berbaur dan Shalat Jumat dalam lautan manusia yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kericuhan itu.
Tampaknya setelah Bung Karno, hanya Jokowi presiden yang punya gairah dan nyali besar untuk berbaur dengan rakyat dalam situasi yang dari segi keamanan bisa sangat riskan.
Sebelum tekadnya yang tak bisa dibendung terlaksana, Jokowi dicegah kalangan pengawal dan pengaman Istana untuk bersembahyang di Monas, sebab sewaktu-waktu bisa saja ada orang yang melempar granat atau menembakkan senjata api.
Namun, semua nasihat pengamanan itu tak diterima dan Jokowi mengajak Wapres Jusuf Kalla, para menteri untuk bergabung Shalat Jumat di Monas bersama rakyat.
Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi mengungkapkan bahwa Jokowi ingin bersama rakyatnya Shalat Jumat di Monas. Keinginan untuk bertemu rakyat tak mungkin bisa dicegah. Itulah salah satu ciri utama watak Jokowi, yang diperlihatkan sejak dia menjadi Wali Kota Solo, lalu saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Tentu keputusan untuk bersembahyang bersama di Monas bukan pilihan sederhana, sebab sebelum keputusan itu diambil, suasana politik boleh dibilang dalam kondisi sedikit memanas.
Para penggagas perhelatan turun jalan 2 Desember itu semula memberi nama aksi mereka dengan tajuk yang rada-rada sektarian, yakni aksi bela Islam, sebagai rangkaian dari demo 4 November yang digerakkan untuk menuntut terduga penista agama Basuki Tjahaja Purnama diadili.
Ahok akhirnya dinyatakan sebagai tersangka dan berkas kasusnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan lalu oleh kejaksaan sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utama.
Tajuk aksi bela Islam yang semula dengan agenda utama Shalat Jumat di Jalan Thamrin akhirnya diubah menjadi doa dan zikir bersama di Taman Monas.
Yang sempat mengejutkan publik, pagi-pagi hari sebelum umat Islam memenuhi Monas, aparat keamanan menangkap 10 aktivis karena diduga menghasut untuk melakukan makar.
Salah satu di antara 10 aktivis itu adalah aktor yang aktif dalam penggulingan rezim Orba pada 1998, yakni Sri Bintang Pamungkas, yang setelah reformasi mendirikan partai politik bernama Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI).
Dalam konstelasi politik setelah reformasi, parpol yang didirikan pria kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 25 Juni 1945 itu tak sanggup bersaing dengan partai lain.
Polisi menangkap 10 aktivis pagi itu antara lain karena ditemukannya selebaran yang ditandatangani Sri Bintang Pamungkas.
Isi selebaran itu memang menohok, yakni seruan kepada DPR agar memanggil MPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa sebagai respons atas situasi yang dianggap sudah genting.
Jika benar selebaran itu ditulis oleh Sri Bintang atau siapa pun penulisnya, tampaklah bahwa sang penulis itu tak memahami konstelasi politik kontemporer.
Konsolidasi politik yang dilakukan Jokowi di tataran suprastruktur maupun infrastruktur sudah sedemikian kuat dan mengesankan hampir semua pengamat politik.
Safari politik yang dilakukan kepada kalangan pimpinan parpol dan kalangan ulama telah memperlihatkan keulungan politik Jokowi dalam merangkul elemen strategis sehingga konsolidasi politik dapat dikatakan tak memberi ruang untuk lahirnya sebuah mosi tidak percaya di tataran suptastruktur kelembagaan politik.
Dengan demikian, hasutan untuk makar itu jauh panggang dari api. Memang ada sejumlah pandangan miring yang menyamakan antara massa yang memenuhi Taman Monas dan sekitarnya itu menyerupai massa yang turun ke jalan-jalan pada era menjelang kejatuhan Soeharto.
Komparasi itu jelas tak realistis. Pertama, elemen yang turun ke jalan-jalan pada 1998 adalah lintas kelompok, bukan cuma umat Islam seperti aksi doa dan zikir bersama pada 2 Desmber lalu. Pada aksi reformasi, aksi turun ke jalan itu terutama diikuti oleh para mahasiswa.
Situasi ekonomi menjelang 1998 juga berada di ambang depresi sehingga banyak ibu-ibu yang memiliki balita tak sanggup membelikan susu buat anak mereka.
Meski aksi doa dan zikir itu tak bisa dikomparasikan dengan demo akbar menjelang kejatuhan Soeharto, cukuplah beralasan bagi Jokowi untuk memperlihatkan wajah sumringahnya dan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berjasa menjaga perhelatan doa dan zikir bersama berjalan tertib dan aman.
Fenomena perhelatan akbar yang semula dikhawatirkan memicu kerusuhan dan ternyata berlangsung aman dan tertib itu oleh beberapa kalangan ditafsirkan sebagai isyarat bahwa demokrasi di Tanah Air telah semakin kukuh dan matang.
Kini saatnya Jokowi kembali ke "laptop" (komputer jinjing), kembali untuk fokus menyejahterakan rakyat dengan tetap tegas terhadap para koruptor, tetap kerja keras membangun infrastruktur di kawasan yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua.
Tampaknya, aksi massal yang melibatkan ratusan ribu bahkan jutaan orang turun ke jalan-jalan bisa menyedot energi yang sangat besar, baik dari pemerintah maupun rakyat. Yang tragis, jika kumpulan massa besar itu diprovokasi dan dihasut oleh sekelompok provokator, lahirnya kekacauan dan aksi destruktif tak mustahil terjadi.
Akhirnya, demokrasi akan tercederai oleh tragedi seperti itu. Itu sebabnya, penggagas aksi massal perlu memperhitungkan kemungkinan tragis itu sehingga tak perlulah menyelenggarakannya terlalu kerap.
Jika benar selebaran itu ditulis oleh Sri Bintang atau siapa pun penulisnya, tampaklah bahwa sang penulis itu tak memahami konstelasi politik kontemporer.
Konsolidasi politik yang dilakukan Jokowi di tataran suprastruktur maupun infrastruktur sudah sedemikian kuat dan mengesankan hampir semua pengamat politik.
Safari politik yang dilakukan kepada kalangan pimpinan parpol dan kalangan ulama telah memperlihatkan keulungan politik Jokowi dalam merangkul elemen strategis sehingga konsolidasi politik dapat dikatakan tak memberi ruang untuk lahirnya sebuah mosi tidak percaya di tataran suptastruktur kelembagaan politik.
Dengan demikian, hasutan untuk makar itu jauh panggang dari api. Memang ada sejumlah pandangan miring yang menyamakan antara massa yang memenuhi Taman Monas dan sekitarnya itu menyerupai massa yang turun ke jalan-jalan pada era menjelang kejatuhan Soeharto.
Komparasi itu jelas tak realistis. Pertama, elemen yang turun ke jalan-jalan pada 1998 adalah lintas kelompok, bukan cuma umat Islam seperti aksi doa dan zikir bersama pada 2 Desmber lalu. Pada aksi reformasi, aksi turun ke jalan itu terutama diikuti oleh para mahasiswa.
Situasi ekonomi menjelang 1998 juga berada di ambang depresi sehingga banyak ibu-ibu yang memiliki balita tak sanggup membelikan susu buat anak mereka.
Meski aksi doa dan zikir itu tak bisa dikomparasikan dengan demo akbar menjelang kejatuhan Soeharto, cukuplah beralasan bagi Jokowi untuk memperlihatkan wajah sumringahnya dan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berjasa menjaga perhelatan doa dan zikir bersama berjalan tertib dan aman.
Fenomena perhelatan akbar yang semula dikhawatirkan memicu kerusuhan dan ternyata berlangsung aman dan tertib itu oleh beberapa kalangan ditafsirkan sebagai isyarat bahwa demokrasi di Tanah Air telah semakin kukuh dan matang.
Kini saatnya Jokowi kembali ke "laptop" (komputer jinjing), kembali untuk fokus menyejahterakan rakyat dengan tetap tegas terhadap para koruptor, tetap kerja keras membangun infrastruktur di kawasan yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua.
Tampaknya, aksi massal yang melibatkan ratusan ribu bahkan jutaan orang turun ke jalan-jalan bisa menyedot energi yang sangat besar, baik dari pemerintah maupun rakyat. Yang tragis, jika kumpulan massa besar itu diprovokasi dan dihasut oleh sekelompok provokator, lahirnya kekacauan dan aksi destruktif tak mustahil terjadi.
Akhirnya, demokrasi akan tercederai oleh tragedi seperti itu. Itu sebabnya, penggagas aksi massal perlu memperhitungkan kemungkinan tragis itu sehingga tak perlulah menyelenggarakannya terlalu kerap.
Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016