Surabaya (ANTARA News) - Mantan Direktur Utama PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim Dahlan Iskan menilai percuma saja membela diri secara hukum, karena itu dirinya menolak untuk didampingi kuasa hukum dalam persidangan yang dimulai pada 29 November 2016.
"Untuk apa lagi membela diri, kalau karena dendam kesumat dari pihak lawan sudah membabi buta, melupakan hukum dan keadilan, maka masalahnya ini sudah bukan lagi masalah hukum," katanya sebagaimana ditirukan mantan Tim Strategic Legal Planner Dahlan Iskan, M. Erick Antariksa SH, di Surabaya, Kamis.
Menurut Erick, Dahlan Iskan sudah mendengar ada ancaman bahwa apapun hasil pengadilan nanti, maka pihak lawan akan terus menyerang.
"Kalau pun bisa menang di kasus PT. PWU, nanti akan diserang dengan kasus lain. Terus menerus sampai akhirnya pak Dahlan kalah," katanya.
Bahkan, kata praktisi hukum itu, ketika akan mengajukan pra-peradilan terhadap penyidikan PT PWU, sudah ada yang mengancam Dahlan, agar membatalkan permohonan praperadilannya.
"Mendengar ancaman-ancaman tersebut, pak Dahlan akhirnya kembali ke filosofi dasar hidupnya sebagai orang Jawa yakni pasrah atau Nrimo saja. Apapun akan percuma saja, karena kalau menang pun langsung dibuatkan sprindik baru lagi," katanya.
Yang makin membuat Pak Dahlan hanya bisa pasrah adalah sepertinya pemerintah juga tidak mau berbuat apa-apa melihat liarnya tindakan oknum kejaksaan, yang sepertinya sudah membabi buta menyerang Dahlan, padahal Presiden Jokowi sudah memberi perintah sangat jelas dan tegas soal larangan kriminalisasi.
"Perintah Presiden itu antara lain tidak boleh ada kriminalisasi jika nilai kerugian negaranya belum jelas. Juga, perintah untuk tidak berlebihan mengekspos perkara sebelum masuk pengadilan. Nah, dua poin perintah Presiden Jokowi itu sudah jelas-jelas dilanggar oleh oknum kejaksaan dalam perkara PT. PWU Jatim, namun pemerintah tidak bertindak," katanya.
Bahkan, sampai ada insiden OTT oknum Jaksa yang dikenal luas sebagai jaksa bawaan dan kepercayaan petinggi Kejaksaan Tinggi Jatim, tapi masih belum ada tindakan apa pun dari negara terhadap petinggi Kejati Jatim itu.
"Kita juga sama-sama bisa melihat dari putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang dimenangkan Dahlan Iskan yang dengan gamblang membuktikan bahwa penetapan pak Dahlan sebagai tersangka tanpa proses penyidikan yang sah. Itu kan mengabaikan azas praduga tak bersalah. Tapi, negara malah menaikan jabatan jaksa yang bersangkutan," katanya.
Terkait pengacara berinisial HR yang diberitakan sebagai "lawyer" Dahlan Iskan dalam statusnya sebagai saksi perkara cetak sawah, sewaktu masih menjadi Menteri BUMN, kuasa hukum Dahlan Iskan dalam perkara PT. PWU Surabaya, Riri Purbasari Dewi, SH, LL.M, MBA, menegaskan bahwa hal itu tidak benar.
"HR itu bukan pengacara Dahlan Iskan. Pengacara Pak Dahlan untuk urusan ini adalah, yang pertama dari kantor hukum Prof. Yusril Ihza Mahendra, yaitu saat Pak Dahlan Iskan diperiksa di Mabes Polri pada tahun 2015," katanya.
Ketika pemeriksaan tahun 2015 tersebut selesai dan Dahlan Iskan sudah menandatangani BAP, maka ia mengira pemeriksaan sudah selesai, lalu ia memutuskan untuk menimba ilmu di Amerika Serikat dalam kurun waktu hampir satu tahun.
"Tidak ada sedikit pun keinginan untuk menghambat jalannya pemeriksaan karena Pak Dahlan mengira pemeriksaan sudah selesai."
"Ketika Pak Dahlan kembali dari Amerika Serikat, dan mendengar bahwa ada pemeriksaan tambahan, maka Pak Dahlan menunjuk pengacara lain, yakni pengacara Michael. Ini karena Pak Dahlan tidak ingin mengganggu Prof. Yusril yang saat itu sedang menjalani proses politik sebagai calon Gubernur DKI," katanya.
Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016