Jakarta (ANTARA News) - Indonesia perlu instrumen hukum untuk menindak teroris asing (Foreign Terrorist Fighter - FTF) dan ujaran kebencian (hate speech) terkait terorisme, kata pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"FTF belum bisa dihukum karena undang-undangnya belum ada," kata Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Irjen Pol Arief Dharmawan di Jakarta, Kamis.
Saat ini, kata dia, sedang berjalan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Tapi belum tahu kapan selesainya. Saya berharap revisi itu cepat selesai dan segera menjadi UU. Jangan sampai kasus bom Thamrin terulang lagi, sementara kita belum memiliki instrumen hukum untuk menangani aksi terorisme ini," katanya.
Persoalan FTF, kata Arief, harus segera dicarikan jalan keluarnya karena bahaya terorisme selalu mengintai. Kondisi tersebut juga telah menjadi persoalan yang mengglobal sehingga diperlukan sinergi antarnegara dan antarinstitusi tanpa harus terjadi saling intervensi antara satu dengan lainnya.
BNPT sendiri melalui Kedeputian Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan telah menggelar diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion - FGD) tentang FTF dan "hate speech" dalam penanganan tindak pidana terorisme untuk membuat rumusan hukum.
FGD yang digelar di Jakarta, Rabu (30/11), itu diikuti perwakilan BNPT, Komisi III DPR RI, Densus 88, Kejaksaan Agung, Hakim, Imigrasi, Satgas Kimia Biologi, Radioaktif, dan Nuklir, serta perwakilan dari International Centre For Counter Terrorism (ICCT) Dr. Christophe Paulussen, Sangita Jaghai, dan Rene Elkerbout.
Menurut Arief, rumusan hukum ini merupakan langkah antisipasi arus balik FTF dan WNI dari Irak. Apalagi ada seruan pemimpin ISIS yang menyerukan kepada pengikutnya untuk melakukan aksi di tempat masing-masing dan tidak usah pergi ke Irak dan Suriah setelah kota Mosul kembali direbut pasukan Irak.
Kondisi ini menurut dia tentu harus diwaspadai karena faktanya cukup banyak WNI yang telah pergi ke Irak dan Suriah, dan juga simpatisan ISIS di dalam negeri.
"Meski jumlahnya tidak banyak, tapi adanya WNI yang bergabung ke ISIS tetap sebuah ancaman. Kita punya pengalaman buruk dengan mereka yang pernah bergabung di Afghanistan," katanya.
Selain FTF, kata Arief, masih ada bahaya lebih besar lagi, yaitu ujaran kebencian yang kini beredar luar biasa di media sosial yang isinya menjelekkan, menebar kebencian, dan mengajak orang untuk melanggar hukum.
"Hal ini harus disikapi secara tegas karena banyak aksi terorisme yang diawali dari perkenalan pelaku di dunia maya," katanya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016