"Indonesia sangat besar dalam hidup saya," tutur Marco menjawab pertanyaan seseorang mengenai emblem Garuda yang tersemat di dada kirinya itu.
Jawaban spontan Marco Antonio Polo Paniagua sontak memancing tawa seisi mobil van berwarna putih yang bersiap menuju Pangkalan Angkatan Udara Peru di Lima untuk menjemput rombongan terbatas Wakil Presiden Jusuf Kalla dari Cusco, Selasa (22/11) lalu itu.
Bukan karena lidahnya yang cedal sehingga terdengar lucu saat mengucap kalimat bahasa Indonesia, namun rasa percaya dirinya menyematkan burung garuda dengan ukuran berbeda itu yang membuat anggota rombongan lain yang mendampingi Wapres pada Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Ibu Kota Peru tersebut tidak kuat menahan geli.
Bukan Marco namanya kalau tidak punya rasa percaya diri. Bahkan tekadnya yang membaja itu pula mengantarkan pria yang namanya mirip dengan Marco Polo, saudagar dan penjelajah asal Italia yang pernah menyusuri jalur sutera dan mengenalkan dunia Timur kepada bangsa-bangsa di Eropa pada akhir 1200-an itu, berhasil menginjakkan kakinya di Indonesia pada Agustus dua tahun silam.
Ia rela melakukan perjalanan beribu-ribu mil selama tiga hari dari Peru menuju Indonesia. Marco terpaksa "menggelandang" di bandara Chile agar bisa mendapatkan tiket murah menuju Sydney dan Bali sebelum berlabuh di Yogyakarta.
Dari kota budaya itulah kehidupan Marco di Indonesia dimulai. Berawal dari peserta Darmasiswa, program beasiswa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pelajar asing, Marco mulai mengenali Indonesia.
"Meskipun nilainya tidak seberapa, bagi saya sangat berharga," ujarnya mengenai beasiswa sebesar Rp2 juta yang diterimanya setiap bulan itu.
Bahkan dari beasiswa sebesar itu, dia masih bisa menyisihkan uang untuk membeli sepeda motor bekas seharga Rp5 juta. "Sepeda motor itu yang membawa saya keliling Jawa," ucap dia.
Dia juga merasa bersyukur bisa menuntaskan program pendidikan bahasa Indonesia selama satu tahun di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
"Ini merupakan suatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya," kata pria yang selama di Yogyakarta "ngekos" di Condong Catur dengan ongkos sewa Rp500 ribu per bulan itu.
Wajar jika dia tidak pernah menyangka sebelumnya. Bahkan saat mengajukan lamaran pun, dia boleh dibilang sebagai salah satu pelamar yang tidak siap. Apalagi berkas persyaratan jebolan Fakultas Hukum Universidad de San Martin di Porres, Lima, itu tidak lengkap.
"Dokumen persyaratan belum diterjemahkan ke dalam bahasa Ingggris. Padahal penutupan pendaftaran tinggal satu hari," kenang Marco yang saat ini belum genap berusia 30 tahun itu.
Beruntung dia punya teman baik, Jackeline Stephany Juarez da Vila, yang bekerja sebagai staf lokal di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Lima. "Saya harus berterima kasih kepadanya karena dia yang paling banyak membantu," tutur Marco membuat gadis yang akrab disapa Jacky itu tersipu.
Budaya Bangsa
Latar belakang Marco dan Jacky boleh berbeda. Namun keduanya memiliki cita rasa yang tinggi terhadap bangsa Indonesia. Tanpa bantuan Jacky yang bekerja di bidang Penerangan Sosial dan Budaya KBRI Lima bisa jadi Marco tidak akan menginjakkan kakinya di Indonesia.
"Saya tahu dia sangat ingin ke Indonesia," tutur Jacky.
Ia membantu melengkapi persyaratan yang dibutuhkan oleh sahabatnya itu, seperti mengalihbahasakan beberapa dokumen milik Marco dari Spanyol ke Inggris untuk memudahkan verifikasi oleh pihak Kemendikbud di Jakarta.
Alhasil dari sepuluh pelamar Darmasiswa dari Peru dan Bolivia, Marco lolos. Namun beasiswa yang diterimanya tidak mencakup tiket perjalanan dari Peru ke Indonesia yang rata-rata harganya di atas angka Rp25 juta untuk sekali jalan itu sehingga dia harus mengusahakannya sendiri.
Kesupelannya dalam bergaul membuat Marco mendapat kesempatan dalam film "Habibie dan Ainun II", meskipun perannya masih sangat kecil. Ia juga mendapatkan kesempatan dalam beberapa film lain yang lokasi pengambilan gambarnya di Yogyakarta.
Tiga bulan setelah tinggal di Yogyakarta, dia mulai memberanikan diri menemui kedua orang tua Esti, perempuan pujaan yang dia kenal melalui akun Facebook.
"Saya tanya alamat orang tuanya. Ternyata tinggal di Purbalingga (Jawa Tengah)," ucap Marco mulai membuka motif kedatangannya ke Indonesia.
Bersepeda motor dari Yogyakarta menuju Purbalingga yang jaraknya hanya 162 kilometer itu tentu bukan suatu persoalan bagi Marco yang sudah melakukan perjalanan beribu mil dari Lima menuju Yogyakarta.
Tanpa basa-basi karena pribadinya yang sangat terbuka, Marco langsung menyampaikan hasratnya kepada orang tua Esti untuk meminang pujaan hatinya.
"Saya dan orang tua tidak langsung percaya. Apalagi dia orang jauh," tutur Esti yang tentu saja masih menyimpan sejuta keraguan di benaknya.
Marco bukan tipe pria yang gampang menyerah. Dia tidak pernah lelah melakukan perjalanan ke wilayah timurlaut Yogyakarta itu, terutama pada akhir pekan dan hari libur lainnya.
Perlahan tapi pasti, Esti dan orang tuanya akhirnya luluh juga tanpa syarat. Setelah berhasil menyelesaikan program Darmasiswa selama satu tahun di Yogyakarta, Marco yang telah berpindah keyakinan itu memboyong Esti ke Peru.
Marco saat ini menjadi bagian penting dari "soft diplomacy" Indonesia di salah satu negara berpenduduk sekitar 31 juta jiwa di Amerika Selatan itu. Pria yang juga fasih berbahasa Jawa itu berperan dalam mengenalkan budaya bangsa Indonesia di Peru.
"Meskipun jauh dan mahal, saya dan istri akan membudayakan mudik karena di sanalah sebagian darah saya," ucap Marco sambil melirik Esti di sela-sela kesibukannya mempersiapkan upacara kepulangan rombongan Wapres menuju Jakarta dari Pangkalan AU Peru di pinggiran Kota Lima menjelang matahari terbenam itu.
Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016