Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat meminta Bank Indonesia lebih siap dalam melakukan intervensi ke pasar keuangan guna menstabilkan nilai tukar rupiah, karena tekanan eksternal semakin menguat menjelang kenaikan suku bunga The Federal Reserve pada 14 Desember 2016.
"Kalau kita lihat di APBN, secara rata-rata asumsi kurs Rp13.300 per dolar AS (hingga akhir tahun). Jika setelah ada volatilitas, dan dipandang sebagai volatilitas yang tinggi karena spekulasi menjelang The Fed, disitu (BI) butuh bersikap," kata Andreas Edy Susetyo di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Rabu.
Andreas meminta BI untuk tidak lengah, agar volatilitas kurs rupiah menjelang kenaikan bunga The Fed, tidak jauh dari nilai fundamentalnya.
Bank Sentral, kata dia, harus mengintervensi secara terukur, baik itu melalui pasar valuta asing atau melalui instrumen Surat Berharga Negara dan Sertifikat Bank Indonesia.
"Apakah saat volatilitas tinggi BI perlu masuk atau lebih baik jangan terpengaruh, tapi disini adalah kembali bagaimana BI harus memastikan bahwa pasar tidak terlalu terpengaruh," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan.
Nilai tukar rupiah di pasar antarbank, Jakarta, pada Rabu pagi bergerak melemah sebesar dua poin menjadi Rp13.555. Pada Rabu (30/11) ini, menurut kurs tengah BI, nilai tukar rupiah mencapai Rp13.563 per dolar AS.
Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta mengatakan bahwa mata uang rupiah masih berada di area negatif karena permintaan dolar AS yang meningkat di akhir November 2016.
Selain tekanan eksternal, analis melihat sentimen terhadap nilai tukar juga karena faktor domestik.
Analis dari PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong menambahkan bahwa mata uang rupiah bergerak di kisaran sempit, karena pelaku pasar yang menanti rilis data ekonomi domestik pada awal Desember 2016 seperti inflasi.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016