Jakarta (ANTARA News) - Jaksa menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp1,1 miliar kepada mantan ketua umum Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti karena dinilai terbukti melakukan korupsi dana hibah pengembangan ekonomi Provinsi Jawa Timur.
Saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Surabaya Didik Farkhan meminta majelis hakim yang berwenang mengadili perkara itu menyatakan terdakwa La Nyalla terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan.
Di samping menuntut hakim menjatuhkan hukuman penjara dan denda, jaksa juga meminta hakim mewajibkan terdakwa membayar uang pengganti Rp1,115 miliar dari uang hasil korupsi yang ia nikmati.
"Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut," kata jaksa Didik.
"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan," tambah dia.
Jaksa menjelaskan hal yang memberatkan hukuman terdakwa adalah perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian bagi negara dan tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
"Terdakwa melarikan diri ke Singapura hingga akhirnya dideportasi, terdakwa saat diperiksa sebagai tersangka tidak mau menjawab," katanya serta menambahkan yang meringankan terdakwa dia belum pernah dihukum.
La Nyalla dinilai terbukti melakukan korupsi dana hibah yang diberikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada Kadin Jatim pada periode 2011-2014 senilai Rp48 miliar.
Dana tersebut dicairkan bersama-sama dengan Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Jaringan Usaha Antar Provinsi Kadin Jatim Diar Kusuma Putra dan Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kadin Jatim Nelson Sembiring.
Pada 2011 ada dana hibah Rp13 miliar dan Rp9,3 miliar di antaranya tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh La Nyalla, Diar dan Nelson.
Pada 2012, ada dana hibah Rp10 miliar, dan dari jumlah itu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp6,6 miliar.
"Dari jumlah itu Rp1,3 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa yaitu dengan meminta Diar mentransfer ke rekening terdakwa Rp900 juta di Bank Mandiri dan Rp400 juta di rekening terdakwa di Citibank," tambah jaksa.
Selain itu La Nyalla menggunakan dana Kadin sebesar Rp5,36 miliar untuk pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim atas nama dia.
"Pada 11 Juli 2012 terdakwa La Nyalla Mattalitti melalui PT Mandiri Sekuritas tercatat mendapatkan IPO Bank Jatim sejumlah 12.340.500 lembar di harga Rp430 per lembar," ungkap jaksa Didik.
Ia selanjutnya menjual saham Bank Jatim itu secara bertahap pada 2 April 2013 dan 23 Februari 2015 dengan nilai total seluruhnya Rp6,411 miliar sehingga mendapat selisih keuntungan sejumlah Rp1,105 miliar.
"Terdakwa mengatakan tidak mengetahui pembelian IPO menggunakan dana hibah, sehingga pembelian IPO dianggap sebagai utang namun dalam persidangan diketahui tidak ada dana pribadi yang disimpan Diar untuk dibelikan IPO," kata jaksa.
Keterangan tersebut, ia menjelaskan, bertentangan dengan keterangan Diar dan Edi Kusdaryanto dari Bagian Keuangan Kadin Jatim yang mengatakan sudah memberitahu soal pembelian IPO dan minat untuk membeli IPO sejumlah Rp20 miliar namun terdakwa hanya mendapat jatah Rp5,3 miliar.
Jaksa membantah keterangan La Nyalla yang mengatakan bahwa sudah ada pengembalian uang yang dilakukan oleh Diar dan Nelspon pada Oktober dan November 2012 untuk pembelian IPO.
"Ternyata bukti pengembalian tidak didukung dengan bukti pengembalian sistem keuangan, misalnya pengembalian uang dicatat dalam buku kas, disimpan di brankas, atau diketahui oleh bendahara," katanya.
Dalam persidangan, ia melanjutkan, Diar mengatakan bahwa pengembalian IPO tidak tercatat dan hanya ada dalam catatan kecil.
"Edi mengatakan tidak pernah ada pengembalian dana hibah tahun 2012 karena tidak tercatat dalam buku kas dan tidak tersimpan dalam brankas," tambah jaksa Didik.
La Nyalla selanjutnya menandatangani Surat Pengakuan Utang yang seolah-olah dilakukan tanggal 9 Juli 2012.
Namun surat itu tidak benar karena materai yang digunakan dalam surat dimaksud baru dicetak oleh Perum Peruri pada tanggal 11 Juni 2014 sedangkan Surat Pengakuan Utang dibuat pada 9 Juli 2012.
Kemudian, pada 2013 ada Rp15 miliar anggaran yang dicairkan dari dana hibah Provinsi Jawa Timur, dan yang tidak dapat dipertanggunjawabkan Rp8,5 miliar.
Selanjutnya pada 2014 terdapat pencairan dana hibah Rp10 miliar dan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan La Nyalla dengan Diar dan Nelson adalah Rp5,3 miliar.
"Agar seolah-olah dana hibah pada 2011-2014 sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB), terdakwa meminta Heru Susanto sebagai Staf Badan Penelitian dan Pengembangan Pemprov Jatim untuk membuat laporan pertanggungjawaban yang telah disesuaikan dengan RAB dengan cara merekayasa dengan RAB dengan cara merekayasa data pendukung laporan pertanggungjawaban," ungkap jaksa Didik.
Perbuatan-perbuatan itu juga memperkaya Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring sebesar Rp26,65 miliar dan merugikan keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Rp27,76 miliar atau setidak-tidaknya Rp26,654 miliar.
Menanggapi tuntutan jaksa, La Nyalla menegaskan bahwa tuntutan tidak sesuai dengan fakta persidangan.
"Nanti biar penasihat hukum saja, yang jelas yang saya dengarkan tadi ada yang tidak sesuai dengan fakta persidangan. Yah wajarlah yang namanya jaksa kan tugasnya menuntut ya sudah biar saja," kata La Nyalla usai sidang.
Sidang akan dilanjutkan pada 7 Desember 2016.
Terkait perkara ini, Nelson Sembiring sudah dijatuhi hukuman penjara lima tahun delapan bulan sedangkan Diar Kusuma Putra dihukum satu tahun dan dua bulan penjara.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016