Denpasar (ANTARA News) - Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri menilai, cita-cita dan perjuangan RA Kartini hingga sekarang masih terus bergulir, karena masih banyak hal yang perlu dilakukan dalam membangun kaum wanita Indonesia. "Ide-ide dasar RA Kartini perlu kita contoh, karena tanpa kekuatan wanita Indonesia tidak bisa melakukan banyak hal," kata Megawati yang juga Ketua Umum DPP PDIP ketika menghadiri perayaan hari lahhir ke-128 RA Kartini di Denpasar, Sabtu. Pada perayaan yang digelar Sekolah Taman Rama yang bernaung di bawah Yayasan Taman Mahatma Gandhi, ia mengatakan, pria dan wanita harus mempunyai kesamaan hak dan kewajiban dalam mengantarkan bangsa dan negara Indonesia kearah yang lebih maju. "Tanpa kemampuan yang imbang antara pria dan wanita ibarat seekor burung yang mempunyai dua sayap tidak dimanfaatkan dengan baik, sehingga tidak bisa terbang," ujarnya. Oleh sebab itu RA Kartini yang lahir dari keluarga bangsawan Jawa, bertekad menyamakan persamaan hak antara pria dan wanita dalam kesempatan menikmati pendidikan. Lewat perjuangan dalam menyamakan hak kaumnya itu, RA Kartini yang lahir 21 April 1879 itu akhirnya dinobatkan sebagai pahlawan. "Jika RA Kartini masih hidup dan dapat menikmati hasil perjuangannya, bahwa kesamaan pria dan wanita telah dapat terwujud, bahkan pernah sebagai Presiden RI, tentu beliau sangat gembira sekali," ujar Megawati dalam acara yang dihadiri Duta Besar India untuk Indonesia, Navrekha Sharma. Ia mengatakan, perjuangan RA Kartini yang telah dilakukan dan dapat diketahui hingga generasi sekarang dan masa yang akan datang, berkat surat-suratnya yang ditujukan kepada sejumlah rekannya yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh teman dekatnya seorang warga negara asing. Kartini yang wafat dalam usia 25 tahun pada 1904 dari kelahiran 21 April 1879, memiliki buah pikiran dan cita-cita yang kemudian menjadi inspirasi gerakan perempuan Indonesia selanjutnya. Pemikiran Kartini, seperti ditulis dalam surat-suratnya terkumpul dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang", awalnya memang berupa kemarahan atas kondisi kaumnya, karena melihat dunia tidak adil dan lebih menguntungkan kaum lelaki. Sebagai remaja ia sempat berontak terhadap adat bangsawan Jawa kala itu yang memingit anak gadis serta kebiasaan kaum lelaki bangsawan berpoligami, bahkan pernah berpendapat bahwa untuk menjadi perempuan merdeka mungkin tidak perlu menikah. Namun, gejolak keresahan Kartini menjadi kurang sejalan dengan usianya yang semakin dewasa yang tampak berubah dari gaya tulisannya, akhirnya Kartini menemukan konsep kemandirian kaumnya, apalagi setelah menemukan lelaki yang sangat mendukung cita-citanya. Semangat Kartini adalah untuk kemerdekaan perempuan, membebaskannya dari lembah kemiskinan, dan pendidikan adalah kunci utama menuju kemerdekaan tersebut. Menurut kartini, titik tolak kemerdekaan perempuan bukanlah menjadikan perempuan makhluk otonom yang terpisah dari lingkungannya, melainkan sebagai pribadi yang terkait dengan kemajuan bangsa. Kartini saat itu menuliskan: Kecerdasan pikiran penduduk di Tanah Air tidak akan maju dengan pesat, bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, perempuan jadi pembawa peradaban, berapakah ibu nusantara itu sanggup mendidik anaknya bila mereka tiada berpendidikan. Kartini memandang lelaki adalah mitra perempuan untuk kemajuan bangsa yang berbeda dengan anggapan kaum feminis yang berpendapat bahwa lelaki adalah penindas dan penghambat kemajuan perempuan. "Akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada di samping seorang laki-laki yang cakap, mulia, yang saya hormati... lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat saya usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri," kata Kartini dalam surat-suratnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah Bali yang dibaca secara bergantian oleh empat siswa Sekolah Taman Rama Denpasar. Sekolah Taman Rama yang mendidik sekitar 1.200 siswa, 30 persen diantaranya warga negara asing dari jenjang pendidikan TK, SD, SMP dan SMU itu menggelar perayaan Hari Kartini dengan tema "Hari Bali". Taman Rama School yang dikelola Yayasan Taman Mahatma Gandhi itu dihias dengan nuansa Bali, manajemen dipimpin kaum wanita, semua warga sekolah, termasuk siswa TK, SD, SMP hingga SMA, mengenakan busana adat Bali. Pada perayaan tersebut ditampilkan berbagai atraksi kebudayaan Bali, sebagai salah satu upaya melestarikan atau melanggengkan (ajeg) kebudayaan di Pulau Dewata.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007