Teheran (ANTARA News) - Kurs mata uang Iran, rial, mencapai rekor penyusutan baru terhadap dolar AS pada Selasa di pasar jalanan di Teheran, dengan satu dolar ditukar untuk sekitar 39.000 rial.
Kurs pada 29 Oktober adalah 36.200 rial terhadap satu dolar, dan 35.800 pada tanggal yang sama pada September. Angka-angka ini masing-masing mewakili penurunan 7,7 persen dan 10 persen.
Rial telah terdepresiasi selama beberapa minggu terakhir untuk pertama kalinya sejak tercapainya kesepakatan nuklir Iran pada tahun lalu.
Kemerosotan terbaru terjadi hanya beberapa bulan sebelum pemilihan presiden Iran pada Mei 2017.
Iraj Nadimi, seorang konsultan keuangan untuk pemerintahan Presiden Iran Hassan Rouhani, mengatakan lonjakan baru dari dolar terhadap rial adalah, sebagian, karena pasokan dan permintaan mata uang asing di pasar.
Dia menepis komentar bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan pemerintah, memanipulasi kurs dolar untuk mengkompensasi defisit anggaran.
Ia juga menyebutkan perubahan nilai mata uang acuan di pasar internasional menyusul hasil pemilihan presiden AS sebagai salah satu alasan untuk fluktuasi nilai tukar mata uang.
Rial berada di bawah tekanan berat hanya tiga minggu setelah kemenangan Presiden AS terpilih Donald Trump.
Hal ini mengangkat dugaan bahwa pemerintahan Trump mungkin akan menjauhkan diri dari melaksanakan kewajiban Washington berkaitan dengan kesepakatan nuklir internasional tahun lalu, yang menempatkan Iran di jalur peringanan sanksi sebagai imbalan dari pembatasan ketat pada program nuklirnya.
Senat AS pada Selasa menyetujui pemungutan suara DPR AS untuk perpanjangan Iran Sanctions Act (ISA) selama 10 tahun. Rancangan undang-undang akan ditandatangani oleh Presiden AS untuk menjadi sebuah undang-undang.
ISA pertama kali diadopsi pada 1996 untuk sanksi Iran atas program nuklirnya yang kontroversial.
Iran dan enam negara besar dunia, yaitu AS, Inggris, Tiongkok, Rusia, Prancis dan Jerman, mencapai kesepakatan tentang masalah nuklir Iran pada Juli 2015, yang dilaksanakan pada Januari 2016, demikian Xinhua.
(UU.A026)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016