Jakarta (ANTARA News) - Fenomena berita bohong yang sengaja disebar orang-orang tak bertanggungjawab ke jejaring media sosial dan hilangnya kepercayaan sebagian publik pada kredibilitas pemberitaan media arus utama kini mengancam demokrasi Amerika Serikat, kata seorang diplomat AS.
"Berita dalam media sosial ini merupakan masalah besar di Amerika Serikat," kata Atase Pers Kedutaan Besar AS John E.Johnson dalam diskusi interaktif Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) bertajuk "mengapa saya mau jadi wartawan" yang berlangsung di Jakarta, Selasa.
Bagi para pekerja media arus utama di AS, hilangnya kepercayaan sebagian publik negara itu pada kredibilitas mereka akibat pemberitaan yang dinilai publik cenderung berpihak atau menguntungkan calon presiden tertentu, dalam pemilihan presiden yang dimenangkan Donald Trump itu merupakan tantangan yang nyata, katanya.
"Tantangan terberat media di Amerika Serikat dalam sepuluh dua puluh tahun mendatang adalah bagaimana membangun kembali kepercayaan publik terhadap fakta-fakta yang mereka sajikan," kata diplomat karir yang telah bertugas di Jakarta selama dua setengah tahun itu.
Kondisi yang kini dihadapi media AS, termasuk koran sekelas New York Times, itu mengancam pelaksanaan demokrasi yang sehat di negaranya, kata Johnson yang tampil sebagai pembicara bersama Direktur Pemberitaan Perum LKBN Antara Aat Surya Safaat dan Spesialis Komunikasi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Siska Widyawati dalam diskusi interaktif tersebut.
Betapa tidak, adanya krisis kepercayaan pada krediblitas fakta-fakta yang disajikan media arus utama itu telah mempersulit warga untuk mendiskusikan sesuatu, kata Johnson.
"Dua hal yang hilang dari jurnalisme Amerika saat ini adalah trust (kepercayaan) dan fakta. Bagaimana kami bisa berbicara kalau kami sudah tidak saling mempercayai fakta-fakta (yang disajikan media)?" katanya.
Kenyataan bahwa adanya sebagian publik yang tidak percaya pada obyektivitas pemberitaan New York Times itu "sangat berbahaya", mengingat reputasi tinggi yang dimiliki harian terkemuka yang terbit sejak 18 September 1851 dan pernah memenangkan 117 penghargaan bergengsi, Pulitzer, selama ini, katanya.
Fenomena hilangnya kepercayaan sebagian publik pada media semacam New York Times yang pernah memprediksi kemenangan mudah Hillary Clinton dalam pemilihan presiden AS tersebut justru terjadi di tengah banyaknya warga AS yang menjadikan media sosial, seperti facebook dan twitter, sebagai sumber informasi mereka, katanya.
Dalam konteks pemilihan presiden AS baru-baru ini, mayoritas kalangan muda di negaranya menjadikan media sosial sumber informasi utama mereka di tengah keberhasilan para pengelola media sosial tersebut dalam menyajikan berita maupun informasi yang bersesuaian dengan keinginan mereka.
"Rakyat Amerika hanya memilih informasi yang ada dalam filter bubble (gelembung penyaring-red.) dan mendukung pandangan orang-orang yang ada dalam filter bubble tersebut," katanya.
Di tengah perkembangan pesat teknologi informasi yang semakin memudahkan publik untuk mengakses informasi apapun lewat telepon pintar mereka, banyak orang yang membuat berita bohong dan mempublikasinya melalui berbagai platform media sosial yang ada, kata Johnson.
Untuk menemukan "kebenaran" yang ada dalam pemberitaan di media arus utama dan media sosial itu, Johnson mengatakan dia membiasakan dirinya membaca sejumlah suratkabar dan media online yang berbeda. "Saya sejujurnya membaca semua media yang kita setuju maupun yang tidak kita setuju," katanya.
Sementara itu, dalam diskusi interaktif yang dihadiri puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan wartawan dari sejumlah media cetak dan elektronika di Jakarta itu, Direktur Pemberitaan Perum LKBN Antara Aat Surya Safaat dan Spesialis Komunikasi FAO di Jakarta Siska Widyawati berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka sebagai jurnalis berpengalaman.
Aat Surya Safaat mengatakan dia memilih profesi wartawan karena kegemarannya menulis sejak kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Disamping itu, dia pun terinspirasi oleh buku-buku karya Bung Karno dan Bung Hatta sehingga setamat dari Unair, dia memutuskan bergabung dengan Kantor Berita Antara.
"Nasib kita bergantung pada kita. Seperti kata Nelson Mandela, I am the master of my fate; I am the captain of my soul (Aku adalah tuan nasibku; Aku adalah kapten jiwaku)," katanya.
Mantan Kepala Biro Antara di New York AS (1993-1998) ini mengingatkan kalangan muda yang ingin menjadi jurnalis agar senantiasa menggunakan kebebasan pers yang ada secara profesional sesuai dengan tuntunan dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.
Pandangan senada juga disampaikan Siska Widyawati, spesialis komunikasi FAO Jakarta yang meniti karirnya sebagai jurnalis selama 15 tahun. Pilihannya pada profesi ini tak terlepas dari kegemarannya menulis serta kesukaannya pada jalan-jalan dan mendengar orang bercerita membawanya pada pilihan hidup sebagai perempuan jurnalis.
"Ketika masih kuliah di Unpad (Universitas Pajajaran), saya memang senang menulis dan jalan-jalan. Passion saya adalah saya suka mendengar orang bercerita," kata Siska yang pernah meniti karir sebagai wartawati Majalah Kartini,Detik.com, dan Kantor Berita Jepang Jiji Press Biro Jakarta ini.
Diskusi yang diselenggarakan di STIE Trianandra, Jakarta Timur, itu turut dihadiri Presiden PJMI Mohamad Anthoni dan Pendiri Oxford English Course Prof.Dr.Bambang Marsono, MA, MSc, MM, PhD.
Pewarta: Rahmad Nasution
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016