"Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE ini hanyalah melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat Indonesia dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru Pemerintah. Semua revisi lebih banyak memberikan kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin melalui siaran pers, Senin.
Menurut dia, pemerintah semestinya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3), bukan hanya mengurangi ancaman hukumannya dari enam tahun menjadi empat tahun.
Ia mengatakan, mengurangi ancaman hukuman tidak menjawab akar masalah karena dalam praktik, aparat penegak hukum kerap menggunakan tuduhan ganda, pasal berlapis, sehingga ancaman pidana yang ada dapat menahan sesorang yang dilaporkan atas pasal 27 ayat (3).
Terkait dengan right to be forgotten yang ditambahkan pada pasal 26, mengenai pemberitaan di masa lalu, ia menilai ketentuan ini dapat menjadi sensor berita.
"Ketentuan ini bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu," kata dia.
Praktik right to be forgotten di Eropa, lanjut dia, masih menjadi perdebatan serius meski implementasinya hanya terhadap mesin pencari (search engine) dan tidak termasuk situs ataupun aplikasi tertentu.
Perundungan dunia maya (cyberbullying) yang disisipkan pada pasal 29 menurut dia berpotensi menimbulkan overkriminalisasi karena masih banyak ahli pidana dari negara lain yang sulit merumuskan definisi perundungan.
Revisi UU ITE dinilainya melompat jauh karena negara belum memiliki definisi hukum yang baku mengenai perundungan di dunia nyata namun terkesan memaksakan pengertian perundungan di dunia maya.
Ia menambahkan, ketiadaan definisi perundungan dapat menyebabkan rumusan yang akan digunakan bersifat lentur dan multitafsir. Tindakan tersebut berpotensi disalahgunakan sehingga terbuka celah untuk membatasi kebebasan berekspresi di dunia maya.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016