Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Pemerintah berencana melakukan sertifikasi lahan untuk petani kecil khususnya pada sektor kelapa sawit, dengan melakukan proyek percontohan untuk 1.000 bidang tanah dalam upaya untuk penataan ruang lahan untuk perkebunan sawit.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, dalam sambutannya pada pembukaan The 12th Indonesian Palm Oil Conference and 2017 Price Outlook, di Nusa Dua, Bali menyatakan bahwa meskipun Indonesia merupakan produsen sawit paling luas di dunia, namun masih tertinggal dalam penataan ruang untuk lahan kelapa sawit dan penata ruangan sektor pertanian secara umum.
"Sertifikasi lahan petani kecil, lahan plasma dan masyarakat sekeliling kebun pada tahun ini kami melakukan proyek percontohan 1.000 bidang lahan untuk 25.000 hektare," kata Sofyan, Kamis.
Proyek percontohan tersebut akan dilakukan dengan melibatkan kurang lebih sebanyak 2.000 hingga 3.000 orang juru ukur. Secara keseluruhan, pemerintah akan mengeluarkan lima juta sertifikat pada tahun 2017 termasuk juga sertifikat untuk lahan sawit milik petani kecil.
Target besar pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang tersebut adalah, pada 2017 mengeluarkan lima juta sertifikat dan tahun berikutnya meningkat menjadi tujuh juta sertifikat. Sementara pada 2019, akan dikeluarkan sebanyak sembilan juta sertifikat.
"Kita memiliki target ambisius, bahwa pada tahun 2025 seluruh tanah di Indonesia seluruhnya bersertifikat. Jika belum, pasti sudah terdaftar," kata Sofyan.
Sofyan menambahkan, selain rencana untuk sertifikasi lahan itu, pihaknya juga akan mulai melakukan penataan tata ruang berupa peta kawasan hutan, percepatan pengeluaran sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Khusus untuk HGU, pemerintah menjamin proses penyelesaian maksimal selama 90 hari.
Sertifikasi lahan bagi petani kecil sangat diperlukan khususnya untuk mendapatkan pembiayaan dan juga masuk dalam program peremajaan tanaman. Saat ini, mayoritas para petani kecil tersebut belum mendapatkan sertifikat sehingga kesulitan untuk mendapatkan akses permodalan.
Salah satu masalah yang timbul akibat dari petani kecil yang tidak memiliki sertifikat lahan tersebut adalah, mereka tidak bisa mengikuti program peremajaan sawit untuk peningkatan produktivitas dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
Tercatat, pada periode Januari-Agustus 2016 BPDP-KS telah mengumpulkan dana mencapai Rp7,19 triliun dari hasil pungutan ekspor produk sawit. Sementara pada Juli-Desember 2015, dana yang terkumpul sebesar Rp6,9 triliun, sehingga total dana yang terkumpul mencapai Rp14,1 triliun sejak badan tersebut dibentuk Juli 2015.
BPDP-KS telah menyalurkan sebanyak 71 persen dari total dana yang didapatkan tersebut untuk subsidi program biodiesel. Hingga Juni 2016, total subsidi untuk biodiesel mencapai Rp6,52 triliun, sehingga mayoritas dana yang dikeluarkan oleh BPDP-KS adalah untuk subsidi biodiesel dan bukan untuk peremajaan tanaman.
Sementara periode Juli-Desember 2015, dari total jumlah dana yang berhasil dihimpun senilai Rp6,9 triliun tersebut sebagian besar dipergunakan untuk membayar subsidi selisih biodiesel. Tercatat, pembayaran subsidi biodiesel itu mencapai Rp467,21 miliar, riset sebesar Rp10,25 miliar dan untuk peremajaan baru sebesar Rp623,5 juta.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengharapkan pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang bisa memberi kepastian hukum terkait masalah pertanahan dan agraria.
Selain isu lahan dan pertanahan, Gapki juga mengutarakan masalah lain yang dihadapi oleh pelaku usaha bidang sawit. Prioritas pembenahan tersebut adalah peningkatan produktivitas untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia yang terus mengalami peningkatan.
Gapki memperkirakan, kebutuhan minyak nabati dunia akan mencapai 50 juta ton pada tahun 2025, dan saat ini Indonesia memproduksi sebanyak 31 juta ton dengan komposisi 22,5 juta ton untuk pasar tujuan ekspor.
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016