"Kami prihatin melihat, mendengar kondisi tersebut, karena hal itu sudah keluar dari konteks agama Buddha, tidak tertutup kemungkinan mereka sudah berpolitik," kata Ketua Vihara Vajra Bhumi Dharma Viriya Kaloran di Temanggung, Kamis.
Menurutnya, politik itu bisa masuk kepada siapa pun, termasuk pada kaum ulama, kaum cendekia, atau bisa masuk ke kalangan bawah.
"Semua agama saya rasa demikian konteksnya, mengajarkan kedamaian dunia, tetapi kalau menggunakan kesempatan tersebut untuk tujuan pribadi itu sudah lain lagi," ujarnya.
Ia mengatakan bagi umat Buddha berlaku karma, maka bagi mereka yang berbuat seperti itu harus siap menerima akibat dari perbuatannya.
"Buddha pada dasarnya mengajarkan cinta kasih, tetapi kadang-kadang ada segelintir atau beberapa orang yang menggunakan hal tersebut dengan membaca syair kembarnya dengan logat yang berbeda sehingga menimbulkan makna yang berbeda," tuturnya.
Ajaran Buddha, lanjutnya, mengajarkan agar tidak berbuat jahat. Sehingga kalau seseorang mengaku beragama Buddha tetapi masih berbuat jahat, hal tersebut tidak menambah kebajikan.
Maka, sebenarnya dia bukan umat Buddha lagi atau bukan umat dharma, karena dharma itu merupakan ajaran kebenaran, ujarnya.
Menyikapi fenomena penindasan terhadap minoritas Rohingya, katanya, organisasi Buddha di Indonesia Walubi dan Kassi sebenarnya sudah membuat seruan pada mereka agar menepati dharma, karena mereka menyimpang dari ajaran Buddha. Akan tetapi, ia menduga suara umat Buddha Indonesia itu sedikit sehingga tidak terlalu diperhitungkan.
"Buddha itu adalah pendamai yang tidak damai itu bukan Buddha, yang tidak membawa rahmat itu juga bukan Buddha, walaupun mereka beragama Buddha. Menurut pandangan saya mereka mempunyai kepentingan politik," paparnya.
Menyikapi konflik di Myanmar tersebut, katanya, umat Buddha di Kaloran setiap kebaktian Rabu Wage selalu melakukan doa bagi korban konflik tersebut, agar damai di alamnya dan kepada para pelaku agar kembali pada jalan dharma.
Pewarta: Heru Suyitno
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016