"Oportunity lost adalah masyarakat setempat tertunda menikmati listrik," kata Djoko di Kantor Pusat PLN Jakarta, Rabu.
Proyek-proyek pembangkit terkendala yang berada di daerah tak terjangkau, kata Djoko, menyebabkan wilayah itu tidak dialiri listrik selama proyek itu mangkrak.
"Contoh untuk (pembangkit berkapasitas) 2x7 megawatt dibangun 2011, harusnya 2014 mereka (masyarakat setempat) sudah menikmati, (namun) ini tertunda. Inilah dampak utama," kata Djoko.
Sedangkan kerugian yang diderita PLN tergantung kepada kemajuan pembangunan pembangkit yang sudah terealisasi.
Djoko menyebutkan PLN didampingi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam menghitung kerugian.
Namun dia menegaskan ada ketentuan hak penalti dan hak klaim dalam kontrak yang bisa didapat oleh kontraktor dan PLN.
Kepala Satuan Komunikasi PLN I Made Suprateka meminta untuk tidak mengasumsikan total nilai kontrak pembangkit sebagai total kerugian negara yang diderita akibat proyek mangkrak.
"Jangan mengasumsikan total kontrak, total biaya proyek itu adalah bagian dari kerugian negara," tegas Made, memisalkan satu proyek pembangkit senilai Rp100 miliar namun pembangunannya baru 10 persen, sehingga nilai kontraknya yang terhenti karena terkendala baru Rp10 miliar.
BPKP telah mengaudit 34 proyek pembangkit listrik PLN yang dimulai sejak tujuh hingga delapan tahun lalu mangkrak.
PLN menyebut 34 proyek pembangkit itu adalah pembangkit berskala kecil dengan total kapasitas 627,8 megawatt, sedangkan 11 proyek yang diterminasi berkapasitas 147 megawatt dan bukan proyek pembangkit program 35.000 megawatt.
PLN menawarkan jalan keluar dengan melanjutkan 17 proyek yang saat ini dalam proses pembangunan, enam proyek diputus kontrak dan diambil alih PLN, dan 11 proyek diterminasi serta digantikan dengan penyedia tenaga listrik jenis lain.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016