Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Agama telah memberikan sanksi kepada 90 aparatur sipil negara (ASN) karena terlibat pungutan liar (pungli) yang umumnya terjadi di Kantor Urusan Agama dan Madrasah.
Sepanjang 2015 hingga 2016, sebanyak 60 ASN terlibat pungli di KUA, empat di antaranya diberhentikan, sedangkan 30 lainnya terlibat di madrasah.
"Yang memprihatinkan, empat ASN KUA kita beri hukuman berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri," kata Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Agama M. Jasin di Jakarta, Selasa.
Jasin mengatakan bahwa sanksi itu mencakup ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan berupa teguran lisan, tertulis dan pernyataan tidak puas yang diberikan kepada 22 ASN terkait dengan pungli di KUA dan 20 ASN terkait dengan pungli di madrasah.
Sanksi sedang berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun, penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun yang diberikan kepada 21 ASN KUA dan lima ASN madrasah.
Hukuman berat berupa penurunan pangkat lebih rendah selama 3 tahun diberikan kepada empat ASN KUA dan tiga ASN madrasah, sedangkan pembebasan dari jabatan diberikan kepada sembilan ASN KUA dan dua ASN madrasah.
Jasin mengaku Inspektorat Jenderal Kemenag telah melakukan audit, bahkan sebelum Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) terbit.
Audit tersebut dilakukan atas aduan masyarakat tentang penyimpangan oknum KUA, seperti pemberian jasa pencatatan nikah.
Dalam aturannya, pencatatan nikah gratis jika dilakukan di kantor. Namun, jika di luar kantor, calon pengantin harus menyetor Rp600 ribu ke bank hingga mendapatkan kuitansi untuk diserahkan kepada penghulu.
"Praktiknya, uang Rp600 ribu itu dititipkan kepada oknum KUA untuk disetor ke bank. Akan tetapi, tidak dilakukan. Peristiwa nikahnya tetap berjalan di rumah, administrasinya dibuat seakan pernikahan dilakukan di kantor," ujar Jasin.
Sementara itu, Itjen menemukan sejumlah modus pungli di madrasah, salah satunya penggunaan dana komite yang tidak sesuai dengan ketentuan. Penggunaan dana komite berupa honorarium ASN yang bersifat rutin, seperti uang transpor, uang lelah, hingga insentif rutin atas pelaksanaan kegiatan yang masih dalam ruang lingkup dan tugas fungsinya.
Modus lainnya, menurut Jasin, adalah penggelembungan (mark up) uang seragam. Itjen menemukan ada oknum madrasah yang menaikkan harga seragam lebih dari dua kali lipat dari harga seharusnya.
Temuan lainnya berupa penggunaan bantuan operasional sekolah atau BOS untuk kegiatan fiktif, baik untuk konsumsinya maupun ATK-nya. Ada juga oknum yang memanfaatkan uang hasil pungli tersebut untuk kegiatan rekreasi.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016