Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menilai tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan nasional masih tinggi, sehingga masih diperlukan upaya untuk menekannya. "Perbankan nasional masih mengidap NPL yang tinggi di mana saat ini mencapai 7 persen (gross) dan 3,4 persen (netto)," kata Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, dalam seminar risiko hukum dan bisnis dalam investasi BUMN dan BUMD, di Jakarta, Jumat. Ia mengakui tingkat NPL itu memang sudah mengalami kecenderungan menurun sejak beberapa tahun terakhir ini, namun angka tersebut masih cukup tinggi. Tingginya NPL menunjukkan manajemen perekonomian di masa lalu yang kurang baik dan pengelolaan risiko yang kurang memadai di masa lalu. "Penyebab NPL cukup banyak, baik yang disengaja maupun tidak secara sengaja, seperti adanya bencana alam akhir-akhir ini," katanya. Ia menyebutkan BI memiliki data berapa banyak perusahaan yang mengalami kesulitan atau kerugian seperti akibat bencana tsunami di Aceh, gempa di Yogya, dan luapan lumpur di Sidoarjo. "Kita memiliki Kredit Biro yang menangani informasi seperti itu. Mudah-mudahan informasi yang diberikan semakin baik, sehingga bisa memberikan jalan keluar bagi pengambil keputusan," katanya. Selanjutnya BI berharap dengan adanya PP Nomor 33 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyelesaian Piutang Negara, dapat mempercepat penyelesaian NPL di perbankan, khususnya bank BUMN. "Dengan penurunan NPL diharapkan pencadangan atau provisi dapat berkurang dan dapat disalurkan sebagai kredit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya. Mengenai adanya penundaan penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Burhanuddin menyatakan belum mengetahui. "Saya belum tahu, saya baru pulang dari luar negeri, belum ke kantor. Ini baru mau ke kantor," kata Burhanuddin, usai memberi sambutan di seminar itu. (*)
Copyright © ANTARA 2007