Jakarta (ANTARA News) - Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dituntut 8 tahun penjara karena mengurus setidaknya empat perkara terkait perusahaan Lippo Group di PN Jakpus dan menerima gratifikasi dari perkara-perkara lain.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, juga menuntut Edy Nasution untuk dihukum tambahan berupa denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan.
"Kami penuntut umum dalam perkara ini menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang mengadili perkara ini memutuskan terdakwa Edy Nasution terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu pertama dan pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa berupa pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan," kata Ketua tim JPU KPK Dzakiyul Fikri dalam sidang tersebut.
Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dalam perbuatan Edy.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa dilakukan saat negara sedang giat-giatnya memberantas korupsi, perbuatan terdakwa menciderai lembaga peradilan dan meruntuhkan kepercayaan publik dalam mencari keadilan, terdakwa tidak mengakui menerima Rp1,5 miliar dan penerimaan Rp100 juta. Hal meringankan, terdakwa menyesali perbuatan, belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga, mengakui penerimaan Rp50 ribu dolar AS dan Rp50 juta yang ditemukan saat OTT," tambah Dzakiyul.
Perbuatan Edy adalah menerima uang senilai Rp1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura; uang Rp100 juta, dari Doddy Ariyanto Supeno atas arahan Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro; menerima uang sebesar 50 ribu dolar AS dari Agustriadhy atas arahan Eddy Sindoro dan uang Rp50 juta dari Doddy atas arahan Wresti dan Ervan
Eddy Sindoro adalah Presiden Komisaris Lippo Group yang membawahi beberapa anak perusahaan di antaranya PT Jakarta Baru Cosmoplitan (JBC) dan Paramount Enterprise Internasional) dengan Evan Adi Nugroho selaku Direktur dan PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Hery Soegiarto sebagai direktur. Sedangkan Doddy Aryanto Supeno adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah dan Wresti Kristian Hesti Susetyowati adalah bagian legal PT Artha Pratama Anugerah.
Dalam dakwaan pertama terdapat empat penerimaan uang. Penerimaan pertama, Edy menerima Rp1,5 miliar untuk revisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT JBC agar Edy melakukan pengurusan perubahan redaksional (revisi) surat jawaban dari PN Jakarta Pusat untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raat Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang dan tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.
Karena setelah beberapa waktu tidak ditindaklanjuti Edy, maka Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro dan meminta untuk membuat surat memo yang ditujukan kepada promotor yaitu Nurhadi selaku Sekretaris MA RI guna membantu pengurusannya, setelah itu Edy menghubungi Wresti dan menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan, atas arahan Nurhadi agar disediakan uang sebesar Rp3 miliar. Terhadap permintaan uang itu, Eddy Sindoro pun hanya menyanggupi pemberian uang Rp1,5 miliar.
Uang diserahkan pada 26 Oktober 2015 di hotel Acacia dalam mata uang dolar Singapura dalam amplop cokelat besar.
"Pengakuan terdakwa yang mengatakan tidak menerima uang itu dan mengatakan bahwa hanya ada pertemuan tanggal 11 November dengan Dody Andrianto harus diabaikan, terlepas dari bukti dokumen magang anak terdakwa ada di kantor terdakwa dan tidak ditemukan ada karcis parkir di hotel Acacia tertanggal 11 November sehingga jaksa penuntut umum punya keyakinan bahwa terdakwa bertemud dengan Dody pada tanggal 26 Oktober," ungkap Dzakiyul.
Penerimaan kedua adalah uang Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT MTP untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT MTP melawan Kymco melalui PN Jakpus sesuai putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) yang diharuskan membayar ganti rugi sebesar 11.100 dolar AS.
Uang Rp100 juta diantarkan oleh Dpddy kepada Edy pada 17 Desember 2016 di hotel Acacia pukul 09.13 WIB.
Penerimaan ketiga adalah uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT AAL yang diputus kasasi sudah pailit melawan PT First Media Tbk pada 31 Juli 2013 dengan salinan dikirim pada 7 Agustus 2015, namun hingga batas waktu yang telah ditentukan UU, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum.
Edy menyanggupi akan membantu proses pendaftaran permohonan PK PT AAL asal disediakan uang sebesar Rp500 juta. Meski Edy Nasution tahu pengajuan PK PT AAL telah lewat waktu, namun ia menyetujui usulan stafnnya Sarwo Edy untuk membuat surat pemberitahuan penyamapaian putusan kembali kepada kuasa hukum baru dan dilampirkan pencabutan kuasa yang lama yang dikirim pada 25 Februari 2016 dengan ditandatangi Edy Nasution.
Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy 50 ribu dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna coklat
Terakhir penerimaan Rp50 juta untuk pengurusan perkara lain pada 20 April di hotel Acacia.
"Pengakuan terdakwa bahwa Rp50 juta adalah untuk membantu perkawinan anak terdakwa harus dikesampingkan karena uang itu cukup besar dan diberikan secara tersembunyi di tempat yang tidak diketahui umum yaitu di basement hotel Acacia sehingga jaksa meyakini bahwa hal itu sebagai penerimaan tidak sah dan dari percakapan Wresti dan Dody tidak disampaikan mengenai uang untuk pernikahan anak terdakwa sehingga penerimaan itu adalah untuk pengurusan kasus-kasus yang masih diurus terdakwa di PN Jakpus," kata anggota JPU Titto Djaelani.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, jaksa menilai bahwa Edy terbukti menerima gratifikasi senilai Rp10,35 juta, 70 ribu dolar AS dan 9.852 dolar Singapura dan tidak dilaporkan ke KPK.
"Terdakwa tidak pernah melaporkan ke KPK sehingga uang yang ditemukan dalam dompet dan tempat lait berbentuk dolar AS dan Singapura sangat tidak wajar dengan penghasilan terdakwa yang adalah pegawai negeri yang menerima penghasilan dalam bentuk rupiah dan bukan dalam dolar Singapura dan dolar AS. Alasan terdakwa yang mengatakan mengumpulkan uang dolar tidak logis apalagi terdakwa tidak melaporkannya dalam LHKPN sejak 2003 hingga ditemukan uang Rp50 juta di basement parkir Hotel Acacia," tambah jaksa Titto.
Atas tuntutan itu, Edy akan mengajukan nota pembelaan (pledo) pada 30 November 2016.
"Setelah berkonsultasi dengan saudara terdakwa, mengenai pembelaan kami akan lakukan pembelaan melalui penasihat hukum dan pembelaan terdakwa secara pribadi," kata pengacara Edy, Waldus Situmorang.
Terkait perkara ini, Doddy Aryanto Supeno sudah divonis penjara selama 4 tahun ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan sedangkan KPK juga sedang melakukan penyelidikan untuk Nurhadi.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016