Kami berharap tema ini bisa menyebarkan semangat untuk berbuat kebaikan dan menyebarkan kebahagiaan kepada semua orang,"

Pemimpin seniman petani Padepokan Warga Budaya Gejayan di kawasan Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang Riyadi bergegas mencari kawan untuk membagikan puluhan kentongan kepada para penonton Ngayogjazz 2016.

Ketika itu, sajian orkestra kolaborasi "Arupadhatu Jazz", karya mereka, terasa terus menyeruak di halaman pendopo rumah di Dusun Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Yogyakarta, Sabtu (19/11) menjelang petang.

Kelompok seniman petani Gunung Merbabu yang menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu tampil diperkuat dengan improvisasi sejumlah perempuan Komunitas Centhini Gunung, yakni Ayu Permata Sari, Sekartaji Suminto, Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar, dan Nungky Nur Cahyani.

Pemain musik lainnya dari Kelompok Bohemian, yakni Putut Prabu dan Ikbal S. Lubys, menyembulkan petikan gitar listrik dan alat tiup kontemporer, berkolaborasi dengan perkusi dan tiup Agus serta suara satwa seniman Gunung Prau Kabupaten Kendal Taufik dengan tampilan seni rupa mengguyur sekujur tubuhnya.

Mereka memadukan irama musiknya untuk memperkuat tabuhan beberapa perangkat gamelan yang mengiringi tarian kontemporer Komunitas Lima Gunung, Geculan Bocah dan Soreng Truntung Payung, serta performa gerak beberapa perempuan Komunitas Centhini Gunung.

Itulah suguhan kolaborasi gerak, musik, dan suara dalam judul "Arupadhatu Jazz" diinisiasi budayawan dan seniman Sutanto Mendut, hingga menjelang maghrib tiba di daerah industri genting di antara perbukitan lempung di Kecamatan Godean.

Sebanyak tujuh panggung pementasan Ngayogjazz 2016 didirikan dengan nama mengutip ragam produk genting, yakni Panggung Kodok, Panggung Morando, Panggung Kripik, Panggung Krepus, Panggung Wuwung, Panggung Garuda, dan Panggung Paris.

Para musisi dan kelompok-kelompok jaz yang tampil pada perhelatan di berbagai panggung itu, antara lain Faris R.M. Anthology Kuartet, Monita Tahalea, Shadow Puppets bersama Harvey Malaihollo, Tohpati and Friends, Emerald-BEX dan Dudy Oris, Sweetener and Andi Bayou Project, Jes UDU Purwokerto.

Selain itu, Palembang Jazz Community, Magelang Jazz Community, Dinno Alshan, Momo dan Parabiru, Risky Summerbee and The Honeythief, MLD Jazz Project, Avantguitar Project, Jalu T.P., Reminiscence Danny Eriawan Project, Jazz Centrum Surabaya, Balikpapan Jazz Lovers, dan grup-grup lainnya dari beberapa kota.

Perhelatan tahunan Ngayogjazz gagasan seniman Yogyakarta Djaduk Ferianto tersebut, pada tahun 2016 dengan tema "Hamemangun Karyenak Jazzing Sesama", artinya membangun karya jaz yang indah untuk membahagiakan sesama manusia.

Djaduk mengatakan bahwa inspirasi tema tersebut dari pupuh Sinom Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV "Amemangun Karyenak Tyasing Sasama" yang artinya berbuat untuk menyenangkan hati sesama manusia.

"Kami berharap tema ini bisa menyebarkan semangat untuk berbuat kebaikan dan menyebarkan kebahagiaan kepada semua orang," katanya.

Tema itu secara jitu dipijakkan oleh penyaji "Arupadhatu Jazz" dalam "senjata rakyat" berupa kentongan yang dibagikan Riyadi bersama kawan-kawannya kepada penonton. Penabuh kentongan dengan jumlah yang makin bertambah, makin menyedot penonton lain untuk memadati halaman Panggung Wuwung.

Setiap kali kentongan dibagi-bagikan kepada penonton, terasa mereka yang merapat ke Panggung Wuwung makin bertambah. Ratusan orang berjubel di halaman pendopo joglo dengan instalasi terkesan menarik untuk menyaksikan "Arupadhatu Jazz" dan menabuh kentongan bersama-sama.

"Ini mau melepas terpaan kabar ramai dari Ibu Kota (Jakarta, red.) yang terasa menjadi duka bangsa. Kami ingin mengajak bergembira di sini, bukan terendam dalam kabar sedih yang mengancam keutuhan bangsa," kata Riyadi yang juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Anding, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.

Di salah satu tenda transit Ngayogjazz 2016, ia sempat berbincang dan mengonfirmasi kabar melalui media massa dan media sosial tentang gaduh di Ibu Kota, kepada Bre Redana, penulis dan pemerhati budaya yang datang dari Jakarta.

Kabar berseliweran yang menghebohkan negeri selama beberapa waktu terakhir ini, tentang kasus dugaan penistaan agama yang sedang ditangani kepolisian dengan tersangka Gubernur (nonaktif) DKI Jakarta yang juga calon petahana dalam Pilkada 2017 DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Persoalan itu mengakibatkan demo massa pada tanggal 4 November lalu dan merembet pula kepada kegaduhan politik karena terkait dengan pesta demokrasi.

Presiden RI Joko Widodo pun bekerja keras meneguhkan jalinan silaturahmi dengan berbagai elite, terutama pemuka agama, dan memperkuat soliditas jajaran pertahanan nasional untuk menjaga keutuhan bangsa.

Semangat kebinekaan bangsa dan komitmen keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia juga diteguhkan melalui gerakan masyarakat lainnya, sedangkan pihak kepolisian terus memproses hukum atas kasus dugaan penistaan agama tersebut.

"Tentu saja saya juga mengikuti perkembangan kabar itu, ramai di media sosial," ujar Riyadi yang juga petani sayuran di kawasan barat Gunung Merbabu.

Makin menipis persediaan kentongan yang dibawa dari Gunung Merbabu dalam pementasan itu karena sudah disebarkan kepada penonton, membuat kian ramai suara alat komunikasi masyarakat desa tersebut ditabuh oleh mereka yang telah memegangnya.

Pementasan "Arupadhatu Jazz" terasa membawa hayut mereka pada kegembiraan hati. Mereka dengan kentongan di tangannya turut mengiringi penampilan anak-anak Gunung Merbabu melalui gerak tarian "Geculan Bocah" dan penari "Soreng Truntung Payung" yang para laki-laki dan perempuan Gunung Merbabu.

Belum lagi perempuan Centhini Gunung melalui performa mereka yang menyibak ruang gerakan tarian para seniman petani, menjadikan "Arupadhatu Jazz" membumi untuk dinikmati.

Setiap indera penonton mungkin menangkap "Arupadhatu Jazz" sebagai improvisasi karya seni yang irama dan wujudnya tak beraturan. Namun, hal itu tetap terkesan mendatangkan kagum yang tersimpul menjadi bahagia bersama, sebagaimana musik jaz yang selalu menarik dinikmati.

"Inspirasinya dari tataran makna tertinggi Candi Borobudur, yakni Arupadhatu," kata pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sutanto Mendut.

Sebanyak tiga tataran makna Candi Borobudur, yakni Kamadhatu lambang kehidupan manusia awam sehari-hari yang penuh hawa nafsu, Rupadhatu lambang dunia yang membebaskan diri dari nafsu. Akan tetapi, masih dalam ikatan rupa dan bentuk serta Arupadhatu sebagai tingkatan tertinggi atau lambang kesucian dan kehidupan sejati yang tak lagi terikat hal-hal fisik atau duniawi.

"Dalam tataran Arupadhatu, manusia telah melepaskan keakuannya, sehingga lepas dari sedih dan duka, membebaskan diri dari dunia yang memprihatinkan untuk meraih bahagia. Kami tidak ingin larut dalam keprihatinan Ibu Kota yang mengancam kebhinnekaan bangsa. Karena menghargai keragamanlah, kita menjadi bahagia," kata Sutanto yang budayawan itu.

Oleh karena itu, para penyaji "Arupadhatu Jazz" seakan melepaskan sematan keakuan sebagai seniman dan kemudian membawa semua yang menonton pertunjukan menjadi bahagia bersama. Itu dilambangkan dengan kebersamaan mereka membunyikan kentongan. Pemain dan penonton dalam tataran sama di tengah sajian "Arupadhatu Jazz".

Sutanto menyebut pertunjukan "Arupadhatu Jazz" menempatkan pemain bukan sebagai seniman dan lainnya menjadi penonton.

Mereka melepaskan pemaknaan atas liyan. Semua yang berkumpul sebagai relasi dalam bangunan kebersamaan. Mereka hadir di arena panggung untuk bersama-sama membawakan nomor-nomor pertunjukan secara kolaboratif, tanpa latihan.

"Latihannya, ya, hidup sehari-hari sebagai orang biasa, menjadi petani, perajin, bergaul, dan bekerja keras. Di antara kami, ada yang sekitar 2 bulan lalu baru saja naik haji lho. Kami menggeluti kebersamaan dan kebhinekaan," katanya.

Bunyi tabuhan kentongan, mereka jadikan media pemersatu dalam tataran makna tertinggi "Arupadhatu Jazz-nya". Kentongan pula tanda kebersamaan bangsa agar memperkuat spirit kebinekaan karena melalui titirnya membebaskan duka dan petaka.

Oleh M Hari Atmoko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016