Gunung Kidul (ANTARA News) - Petani kakao di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai mengekspor olahan biji kakao ke negara Eropa seperti Belgia dan Prancis namun masih terkendala kapasitas produksi.
Petani kakao Dusun Bunder, Desa Putat, Kecamatan Patuk Paryanto di Gunung Kidul, Minggu, mengatakan hasil perkebunan kakao dari Gunung Kidul banyak diminati pembeli luar negeri.
Ia mengambil contoh saat salah satu pengusaha asal Temanggung (Jawa Tengah) membawa cokelat asal Ngalanggeran ke Prancis, ternyata pengusaha di sana meminati cokelat tersebut.
"Orang di sana suka produk kita dan meminta mengirim lima ton setiap bulan," kata Paryanto.
Selain Prancis, katanya, Belgia meminati cokelat produk asal Nglanggeran. Saat itu kakao dibawa dosen dari Belgia dan warga negara itu banyak yang suka.
"Duta Besar Belgia untuk Indonesia akan datang ke Nglanggeran rencannya pada Februari 2017," katanya.
Paryanto mengakui banyak warga luar negeri yang menyukai produk cokelat Nglanggeran karena cita rasanya lebih enak dibandingkan yang lain. Namun demikian, terbukanya pasar ekspor masih terkendala kapasitas produksi dari kakao.
"Kakao yang dihasilkan masih terbatas, sehingga belum bisa mencukupi kebutuhan di pasar ekspor," katanya.
Ia meminta pemerintah membantu petani agar bisa menghasilkan produk yang sesuai dengan ekspor.
"Kami berharap pemerintah membantu kami untuk penyediaan bibit agar produksi kami bisa meningkat," harapnya.
Kepala dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunung Kidul Bambang Wisnu Broto menjelaskan pengembangan tanaman kakao di Gunung Kidul memang tidak selamanya berjalan dengan baik. Adanya penyakit vaskular streak dieback (VSD) yang menyebabkan kerusakan pada batang sehingga produksi tidak maksimal.
Produksi tanaman kakao di Gunung Kidul rata-rata setiap pohon 0,7 kg atau di bawah rata-rata 1 kg.
"Kami berupaya meningkatkan produksi salah satunya dengan pusat pembenihan mandiri," katanya.
Bambang mengatakan pusat pembenihan mandiri di UPT Pembenihan diharapkan bisa mencukupi kebutuhan kakao kualitas unggul. Di sana dikembangkan bibit kakao jenis Sulawesi 1 dan Sulawesi 5858. Diharapkan dengan adanya bibit yang diproduksi mandiri ini bisa mengurangi pengeluaran petani untuk membeli bibit.
"Selama ini kebutuhan bibit dipenuhi dari luar daerah, sehingga biaya yang dibutuhkan petani lebih besar," katanya.
Pewarta: Sutarmi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016