Istanbul, Turki (ANTARA News) - Turki akan menghapus jabatan perdana menteri (PM) dalam perubahan bersejarah di bawah proposal sistem presidensial baru yang didukung pemerintah, kata seorang menteri kabinet pada Kamis (17/11).
Menteri Kehutanan dan Perairan Veysel Eroglu mengatakan akan ada satu dan mungkin dua wakil presiden di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam format baru itu, yang kemungkinan akan disampaikan untuk referendum tahun depan.
"Tidak akan ada perdana menteri dalam sistem baru," katanya kepada kantor berita pemerintah Anadolu.
"Secara umum akan ada presiden dan di sampingnya mungkin satu wakil presiden seperti di Amerika Serikat. Kita mungkin memiliki lebih dari satu wakil presiden," katanya.
Erdogan, yang terpilih sebagai presiden pada 2014 setelah menjabat sebagai perdana menteri selama lebih dari satu dekade, menginginkan jabatan kepresidenan yang kuat, seperti di Prancis atau Amerika Serikat.
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Erdogan membutuhkan sedikitnya 330 suara dalam parlemen 550 kursi untuk menggelar referendum mengenai pengesahan perubahan tersebut.
Eroglu memperkirakan paket proposal itu akan dibawa ke referendum musim semi tahun depan dengan dukungan anggota parlemen dari oposisi Partai Gerakan Nasionalis (MHP).
Kubu lawan menyatakan bahwa sejak terpilih Erdogan telah menjadi presiden eksekutif de facto dan berpendapat usul perubahan bisa menarik Turki ke pemerintahan penguasa tunggal.
Sebelum Erdogan menjadi kepala negara, perdana menteri Turki dipandang sebagai orang nomor satu tapi sekarang Perdana Menteri Binali Yildirim kebanyakan hanya bertindak sebagai bawahannya.
Cetak biru penuh mengenai sistem pemerintahan baru belum mengemuka, tapi Erdoglu mengindikasikan bahwa menteri-menteri kabinet tidak akan menjadi anggota parlemen.
"Yang dipikirkan adalah sistem di mana legislatif dan eksekutif menjalankan tugas secara terpisah," katanya.
Erdoglu menambahkan bahwa presiden akan berafiliasi dengan partai, artinya Erdogan bisa melanjutkan hubungan dengan partai berkuasa AKP yang harus dia putus setelah menjadi presiden.
Menteri itu mengatakan pemilihan anggota parlemen dan presiden akan berlangsung 2019 menurut warta kantor berita AFP. (mr)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016