Ia khawatir aksi-aksi itu akan membuat gejolak, bahkan bukan tidak mungkin bentrokan sosial, yang akan membuat ancaman ketertiban nasional semakin besar karena memberi peluang pihak ketiga untuk memanfaatkan situasi dan kondisi itu.
"Pelaku terorisme selalu memanfaatkan kondisi kacau negara dengan membuat teror. Tujuannya agar masyarakat makin ketakutan," kata Syaiful di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, meski tidak secara langsung kasus teror bom molotov di Gereje Oikuneme, Samarinda, Minggu (13/11), memiliki benang merah dengan aksi massa di Jakarta pada 4 November.
Dua peristiwa itu tidak lepas dari peran kelompok-kelompok yang ingin merusak kebinekaan dan persatuan NKRI dengan memanfaatkan kegaduhan ibu kota yang dipicu kasus penistaan agama oleh salah satu calon Gubernur DKI Jakarta.
"Kekacauan yang terjadi kemarin ini mencuri start dari polemik di ibu kota. Kalau ini berkepanjangan dan makin meluas, tentu akan memicu potensi terorisme lebih besar," kata Syaiful.
Untuk meredam kemungkinan terjadinya gejolak, Syaiful mengusulkan kepada pemerintah untuk bisa menunda pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta.
Menurutnya, langkah itu adalah bagian antisipasi dari kemungkinan ancaman disintegrasi bangsa lebih besar, sebagai dampak dari kasus penistaan agama dalam Pilkada DKI Jakarta.
Menurut dia proses hukum terhadap calon gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berpotensi menimbulkan kekisruhan politik. Dengan kondisi politik yang terus berkembang, sementara komunikasi terganggu, Syaiful memperkirakan kemungkinan terjadi kerusuhan cukup besar.
Di sisi lain, anggota kelompok ahli BNPT ini mengajak tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menyuarakan kedamaian di masyarakat.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016