Jakarta (ANTARA News) - Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 20 ribu megawatt (MW) yang menggunakan bahan bakar batubara membuat rencana pengurangan emisi Indonesia menjadi sorotan dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Marakesh, Maroko.
Kepala kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika di Jakarta, Kamis, mengatakan Greenpeace Indonesia menyambut baik pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam pidato perubahan iklimnya di Marakesh, Maroko, Rabu (16/11), yang mengakui pentingnya peran hutan dan energi.
Namun, menurut dia, Greenpeace Indonesia menekankan rencana pengurangan emisi Indonesia masih sangat lemah dengan masih mengalokasikan lebih dari 20.000 megawatt untuk PLTU batubara dari total rencana pembangunan 35.000 MW.
Target untuk energi terbarukan yakni 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2030, menurut dia, tidak akan tercapai dengan paradigma dan kebijakan saat ini.
"Tidak ada dorongan untuk pengembangan energi terbarukan, bahan bakar fosil masih disubsidi dan lobi industri batubara memberikan pengaruh berbahaya dalam cara berpikir pemerintah Indonesia," ujar dia.
Pengembangan bahan bakar fosil harus dihentikan sekarang. Tidak ada ruang lagi untuk PLTU batubara, namun sayangnya Indonesia masih terus berinvestasi dalam industri kuno yang mematikan, mengancam kualitas udara, kesehatan rakyat Indonesia dan masa depan planet ini, ujar Hindun.
Ia mengatakan rencana pemerintah bahwa paling tidak 25 persen sumber energi akan berasal dari batubara selambat-lambatnya pada akhir 2050 mungkin akan menjadi sekedar rekaan. Dengan kebijakan saat ini, jumlah PLTU batubara akan jauh lebih banyak dari itu.
"Rencana energi Indonesia adalah catatan bunuh diri bagi planet kita," ujar Hindun.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016