Yogyakarta (ANTARA News) - Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Joko Pitoyo menyatakan kebijakan moratorium tenaga kerja Indonesia (TKI) merugikan Indonesia dalam tiga hal besar.
"Ada kerugian besar yang dialami pemerintah secara langsung, paling tidak ada tiga hal besar," kata dia saat ditemui di Kampus Program Doktor Studi Kebijakan UGM, Yogyakarta, Rabu.
Pertama, katanya, kerugian pemerintah jika moratorium tetap dipaksakan adalah semakin meningkat angka pekerja ilegal yang bekerja di luar negeri.
Pasalnya, pekerja migran yang tercipta di Indonesia mayoritas terjadi karena faktor pekerja migran turunan. Artinya, pekerja migran tercipta melalui budaya migrasi yang semakin mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, katanya.
Menurut dia, moratorium saat ini juga terhitung ilegal, karena ternyata masih cukup banyak pekerja migran yang keluar negeri secara illegal.
Kedua, lanjut dia dengan dihentikannya keberangkatan pekerja migran keluar negeri, maka dipastikan remiten dari luar negeri ke Indonesia, akan berkurang signifikan.
Saat ini, kata dia jumlah pekerja migran Indonesia yang keluar negeri mencapai 500 ribu-600 ribu orang. Namun jika moratorium dijalankan maka akan semakin menurunkan tingkat remiten dari luar negeri ke Indonesia.
"Saat ini, terjadi penurunan signifikan pekerja migran dari angka 500 ribu hingga 600 ribu orang, kini realisasi tahun 2015 hanya sekitar 200 ribu sampai 300 ribu orang saja. Itu pasti berdampak pada kinerja remiten yang menurun," kata dia.
Ketiga, lanjutnya, dengan pelaksanaan moratorium saat ini, maka diperkirakan kasus perdagangan manusia dan praktik penyelundupan akan meningkat.
"Apalagi, wilayah Indonesia memiliki begitu banyak pintu masuk dan pintu keluar bagi masyarakat, khususnya di daerah perbatasan, daerah pinggiran, dan daerah tertinggal. Akibatnya, tingkat perdagangan manusia dan penyelundupan meningkat tajam. Ini kerugian pemerintah, jika moratorium diberlakukan," katanya.
Pewarta: RH Napitupulu
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016