Kapitalisme tidak usah dilawan karena memicu inovasi, tapi kapitalisme berwatak rakus seperti serigala (homo homini lupus) dan memandang manusia sebagai alat produksi (homo economicus) harus diganti kapitalisme Pancasila agar tercipta kesejahteraan melalui kehadiran rakyat dan karyawan sebagai pemegang saham aktif (PSA).
Kapitalisme jenis serigala itu disebut oleh penggagas Kapitalisme Pancasila sebagai Kapitalisme "BOB ASU" (Biar Orang lain Buntung, Asal Saya Untung), ungkap seorang pembicara dalam diskusi mengenang Pendeta Solagratia Setiawibawa Lumy (1934-2002), pencetus Kapitalisme Pancasila, di Jakarta pertengahan November 2016.
Bentuk usaha yang menjamin kehadiran PSA adalah koperasi, sesuai pasal 33 UUD 1945, kata Lumy, yang terlahir sebagai etnis Cina dengan nama Liem Tiong Sien di Yogyakarta 11 November 1934. Ia berasal dari keluarga yang dikenal sebagai "raja" tembakau dan dibaptis sebagai nasrani (Kristen) pada waktu berusia satu bulan.
Bagaimana rakyat punya modal untuk dapat memiliki saham? Lumy dalam Jurnal PSA menjawab :"Setiap orang diberi kapital untuk hidup di dunia ciptaan Tuhan ini dalam dirinya, harkat (harga diri dan bakat-bakat) dan harta yang di luar dirinya.
Untuk "kapitalisasi" harkat dan harta, menurut Lumy, diperlukan "sahamisasi" melalui kapitalisme Pancasila dengan dua kunci, yakni "kreatifikasi" setiap warga negara dan "produktifikasi" setiap jengkal lahan.
Dalam pandangan Lumy, kapitalisme "BOB ASU" berprinsip "survival of the fittest", memberlakukan ajaran homo homini lupus, berpedoman pada asas keuangan. Ini melahirkan persaingan antar keluarga dengan prinsip "private ownership" dan "free market" dengan memberlakukan manusia sebagai homo economicus, faktor produksi belaka.
Pemegang Saham Aktif
Lumy memperkenalkan istilah PSA (Pemegang Saham Aktif) yang bertujuan agar setiap pemegang saham dapat menikmati surplus dalam bentuk dividen setiap tahun dan aktif bekerja untuk menikmati jaminan hidup setiap bulan yang diperhitungkan sebagai biaya produksi. Biaya produksi perlu serendah mungkin agar dapat menikmati surplus sebesar mungkin.
Pandangan Lumy berpangkal tolak pada iman (keyakinan) yang harus dikembangkan dari sifatnya yang partikular menjadi universal, yakni bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, yang masing-masing diberi harkat.
Pandangan pendeta itu senafas dengan fatwa ulama Islam agar setiap Muslim mengembangkan dua jenis kesalehan sekaligus : kesalehan ritual formal, yang bersifat personal, menyangkut hubungan dengan Allah (hablun minallah), dan kesalehan sosial (hablun minannas) yang berdampak manfaat bagi orang lain.
Lumy melihat Indonesia yang berdasar Pancasila adalah negara "pistokrasi", yakni bertolak dari iman yang partikular yang harus dikembangkan menjadi iman yang universal. Negara Pancasila tidak memandang manusia sebagai homo economicus, tetapi sebagai homo iamgo dei, manusia sebagai gambar (tajali) Allah.
Pada saat proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia berada dalam pusaran pertarungan ideologi besar, yaitu kapitalisme (invidual dan sempit) dan komunisme (kapitalisme negara). Keduanya memandang manusia sebagai "homo economicus".
Lumy, yang menempuh pendidikan khusus etnis Cina, SMP sampai SMA, sebentar di Akademi PTT (Pos, Telegraf dan Telepon) di Bandung sebagai mahasiswa penerima beasiswa dan STT (Sekolah Tinggi Teologia), Jakarta, anti kedua kapitalisme sempit dan komunisme.
Menurut biografinya, Lumy ingin melanjutkan sekolah di Taiwan, setelah lulus SMA Cina di Jakarta, untuk melawan komunis. Pada waktu itu Taiwan dilanda pertentangan antara Partai Nasionalis Cina, Kuo Min Tang, dengan Partai Komunis Cina, Kung Cing Tang.
Ternyata setelah lulus STT, ia memilih jalan pelayanan di antara para tunawisma, tunakarya dan pelaku tindak kriminal (penjahat) di luar struktur GKI (Gereja Kristen Indonesia) Jawa Barat.
Ia sambangi orang-orang miskin, tanpa melihat unsur SARA dan menawari mereka untuk mengambil beras dan kebutuhan hidup lainnya di rumahnya yang nampak sederhana di kawasan sekitar Cibubur, Jakarta Timur.
Mengetahui saya Muslim dan penggagas Dompet Dhuafa (DD), ia mengajak saya melihat kehidupan anak-anak miskin, pengamen jalanan yang bergabung dalam grup musik "Warunk Udiek" di kawasan Pulo Gadung Jakarta Timur yang kemudian menjadi mitra-binaan DD.
Ketua grup itu, Budi (alm) adalah santri yang taat dan pemusik yang sangat berbakat. Budi selalu mengingatkan anak buahnya untuk tetap rajin bersekolah, belajar dan beribadah setelah mengamen dengan hasil yang dianggap cukup.
BUMDES
Pembangunan, menurut Lumy, adalah perubahan yang direncanakan atau direkayasa. Untuk Indonesia pembangunan bertujuan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Ia mengusulkan pembangunan koperasi desa paripurna dengan status Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang menerapkan sistem PSA. Koperasi paripurna ini dibangun dengan modal awal uang pajak (APBN) yang kemudian diharapkan menjadi sumber pajak untuk APBN.
Koperasi yang dikembangkan pemerintah berdasar UU Perkoperasian sampai saat gagasan kapitalisme Pancasila diluncurkan, pertengahan 1990an, menurut Lumy, adalah koperasi parsial dan sektoral yang berasaskan keuangan.
Itu, katanya, tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Pasal 33 UUD 1945 menuntut suatu bentuk koperasi yang paripurna, bukan koperasi yang parsial dan sektoral. Alasannya, satu keluarga adalah suatu bentuk koperasi yang paripurna. Artinya, seluruh kehidupan dan penghidupan harus dikoperasikan, ungkap Lumy yang menerima "Hatta Nugraha", sebuah penghargaan yang mengabadikan nama Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Ia mendambakan hadirnya Desa Koperasi Paripurna dengan status BUMDES yang menghimpun 1.000 keluarga untuk menguasai, mengolah serta mengelola 1.000 hektar dengan modal kredit ventura secara bertahap.
Implementasi gagasan Kapitalisme Pancasila ala Lumy ini tidaklah mudah (baca tulisan berikutnya: Jalan Panjang Menuju SEIMAN (Sistem Ekonomi Indonesia Maju Nyata).
Presiden Soeharto pada 1990 pernah mengimbau perusahaan-perusahaan besar untuk memberikan sebagian sahamnya kepada koperasi karyawan atau koperasi rakyat yang menjadi mitra usahanya, antara lain sebagai penyuplai bahan yang akan diproduksi.
Namun, sampai sekarang, tak terdengar kabar tentang perkembangan koperasi penerima saham itu.
Para wartawan pada zaman Orde Baru sesuai persyaratan untuk mengajukan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) mendapat saham kosong sebesar 20 persen dari nilai saham total. Tapi, karena wartawan bukan ahli menjalankan usaha dan sibuk berkarya jurnalistik, koperasi karyawan/wartawan, penerima saham itu tidak tumbuh berkembang, bahkan ada yang menjual sahamnya kepada pemodal (pemilik media).
Sejumlah pengamat melihat kapitalisme "BOB ASU" telah melahirkan minoritas orang kaya, yang jumlahnya sekitar 1 persen, kebanyakan pengusaha keturunan Cina, tapi menguasai sekitar 50 persen kekayaan nasional. Data itu juga diungkapkan Prof. Dr. Subroto, ekonom Orba, dalam pidatonya menyambut tahun baru 2016.
Para pengamat berpendapat, nafsu kapitalisme rakus tidak kenal henti. Setelah menguasai bidang ekonomi, juga ingin menguasai bidang-bidang kehidupan lainnya, termasuk politik, sehingga karenanya perlu kehadiran Kapitalisme Pancasila.
*Penulis, wartawan senior serta pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000 dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Oleh Parni Hadi*
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016