Loh, lah kok tangi AkongeHari masih gelap namun suasana hiruk pikuk sudah mulai terasa di stasiun bawah tanah.
Sekelompok orang berkulit sawo matang berlomba dengan penduduk setempat untuk mengejar kereta pertama menuju ke arah selatan yang tak berhenti lama di stasiun itu.
Di ujung perbatasan Kota Taipei, kereta muncul di permukaan setelah merayap di perut bumi selama hampir 1 jam sehingga sejajar dengan moda transportasi darat lainnya.
Sinar matahari menerobos dinding-dinding kaca kereta. Namun, hanya sedikit yang peduli karena telanjur larut dalam alam mimpi yang sempat tertunda.
Perjalanan selama 6 jam pada musim dingin menuju Kaohsiung, wilayah selatan Taiwan, dengan kereta api reguler itu memang membosankan. Tidak ada perempuan mendorong troli berisi makanan dan minuman. Biasanya, terlelapnya penumpang pada pagi hari itu mungkin menjadi alasan bagi perempuan pendorong troli itu untuk menunda aktivitasnya menyusuri lorong panjang si kuda besi.
Berbagai cara dilakukan oleh penumpang untuk membunuh kebosanan dalam perjalanan panjang. Ada yang tidur sampai-sampai tidak terasa kepalanya membentur kaca jendela atau bahkan tersandar di bahu penumpang lain di sampingnya. Ada pula yang tenggelam dalam lautan maya di genggamannya.
Namun, bagi jiwa-jiwa yang merasa haus akan siraman rohani tidak menyiakan kesempatan tersebut dengan mendengarkan mutiara hikmah. Bagi warga negara Indonesia di Taiwan sudah tidak asing lagi mendengarkan pengajian dengan menggunakan metode telekonferensi.
Di Taiwan, tidak terhitung lagi jumlah majelis taklim yang mereka beri embel-embel "onair" di belakangnya, seperti Hasanah Onair, Al Hikmah Onair, Darussalaam Onair, dan masih banyak "onair-onair" lainnya yang didirikan oleh para tenaga kerja Indonesia itu.
Karena terbatasnya waktu untuk bertatap muka, majelis taklim "onair" itu menjadi media dakwah yang sangat efektif di pulau berjuluk "Formosa" itu.
Kereta sudah menempuh hampir sepertiga perjalanan. Awak majelis taklim Hasanah Onair mulai menyapa para anggota jemaahnya di seantero Taiwan, termasuk mereka yang berada dalam perjalanan.
Lantunan selawat pun terdengar merdu dari seorang perempuan anggota majelis tersebut. Namun, belum sampai selesai bait-bait selawat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW dilantunkan, suara perempuan tadi terputus. Bukan karena gangguan teknis, melainkan satu hal yang tidak akan bisa dilupakan oleh anggota jemaahnya.
"Loh, lah kok tangi Akonge (loh, kok tiba-tiba terbangun kakeknya)," sergah perempuan Jawa itu setelah menghentikan bacaan selawatnya karena dikejutkan suara majikannya yang baru saja terbangun dari tidur.
Beragam respons pun bermunculan. Namun yang paling menonjol adalah derai tawa dari jemaah majelis taklim itu. Bahkan, ada yang terpingkal-pingkal karena tidak kuat menahan tawa begitu mendengar suara manja sang Akong kepada perempuan tadi.
Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan insiden kecil seperti itu, segera mengambil iniasiatif mengambil alih pimpinan pembacaan selawat. Keadaan berangsur terkendali dan acara inti oleh salah satu TKI yang terbiasa memberikan tausiah dimulai.
Itulah sekelumit gambaran mengenai kegiatan yang berdampak positif bagi para pekerja migran Indonesia di Taiwan. Mereka tidak melulu mencari nafkah untuk kebutuhan lahiriah, tetapi juga berupaya memenuhi kebutuhan batiniah.
Mereka bukan saja menjadi pahlawan bagi negaranya yang sedang butuh asupan devisa agar bisa membayar utang kepada negara lain atau lembaga donor. Pada tahun lalu, misalnya, mereka bisa mendatangkan devisa senilai 668,9 miliar dolar AS atau setara Rp9 triliun.
Mereka juga menjadi pahlawan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya agar bisa "survive" secara ekonomi setelah lapangan pekerjaan di negeri sendiri makin terbatas dan tidak sebanding dengan pesatnya populasi penduduk.
"Sebenarnya, bukan pilihan terbaik kami datang ke sini. Akan tetapi, bukan berarti kami tidak bisa melakukan yang terbaik untuk sesama," kata Tarnia Tari sebagai pimpinan Majelis Taklim Hasanah Onair dalam pesan singkatnya kepada Antara di Jakarta, belum lama ini.
Pada saat libur kerja, dia mengumpulkan teman-temannya, baik yang satu majelis maupun tidak, untuk bertatap muka. "Kalau sudah di darat yang dibahas bukan materi pengajian, melainkan mendiskusikan tentang kemajuan majelis atau saling berbagi hikmah atau bahkan curhat soal pekerjaan," kata TKI asal Ponorogo, Jawa Timur, yang juga tercatat sebagai tenaga sukarelawan Satgas TKI bentukan perwakilan pemerintah Indonesia di Taiwan itu.
Merah Putih di Taichi
Perjuangan tidak kalah gigihnya ditunjukkan Eulis Komariah. Hidup bertahun-tahun di negeri orang dimanfaatkannya untuk mempelajari budaya masyarakat setempat di sela-sela kesibukannya.
Majikannya di Pingtung County menularkan keahlian taichinya kepada perempuan kelahiran Bandung pada tanggal 11 Maret 1968 itu. Ketekunan ibu dua anak tersebut membawa hasil meskipun usianya sudah tidak muda lagi.
Sejak 2012 sampai saat ini, Eulis sudah mengumpulkan 22 keping medali dan tujuh buah trofi dengan catatan 16 kali juara pertama, delapan kali juara kedua, dan lima kali juara ketiga dari berbagai ajang kejuaraan seni beladiri tradisional Taiwan itu.
Bahkan, sejak 2014 hingga saat ini dia masih tercatat sebagai juara dunia taichi untuk kategori atlet non-Taiwan. Dia juga orang Indonesia pertama yang mengantongi sertifikat Dewan Juri Internasional.
"Saya turut bangga di setiap kali ada kejuaraan taichi di Taiwan, bendera Indonesia hampir selalu berkibar," tuturnya.
Eulis tentu saja tidak hanya mampu mengibarkan Merah Putih di luar negeri, tetapi prestasinya seakan mengikis predikat negatif Indonesia sebagai "bangsa babu" di mata negara lain, khususnya di Taiwan yang pertumbuhan perekonomiannya juga berkat kontribusi 250.000 buruh migran asal Indonesia.
Meskipun penghargaan dan pengakuan dari pemerintah Indonesia tidak sebesar yang diberikan kepada atlet cabang olahraga lainnya yang berprestasi di kancah internasional, Eulis tidak pernah lelah untuk berjuang.
Namun, dia sempat menyayangkan perwakilan pemerintah Indonesia yang tidak memberikan perhatian seperti yang biasa dilakukan oleh pimpinan sebelumnya pada saat dia harus mempertahankan gelar juara dunianya beberapa pekan yang lalu.
"Padahal, saya bertanding di Banqiau, tidak jauh dari Taipei. Bahkan, yang membelikan tiket p.p. ke sini, majikan saya. Bersyukur saya masih bisa mempertahankan juara," tuturnya dengan nada memelas.
Sejak kontrak kerjanya berakhir pada tanggal 19 Oktober 2016, dia harus meninggalkan Taiwan. Namun, karena prestasinya yang membanggakan itu, pemerintah Taiwan memberikan kesempatan kepada Eulis untuk mengajar Taichi di Pingtung dan sekitarnya pada saat-saat tertentu.
"Selama 3 tahun saya bebas keluar-masuk Taiwan. Majikan saya juga bersedia menanggung biaya perjalanan dari Indonesia," ujarnya.
Di sela-sela mengurus suami dan kedua anaknya di Kabupaten Bandung Barat, Eulis mulai mempersiapkan generasi yang diharapkan bisa berprestasi melampaui pencapaiannya meskipun tidak harus tinggal di negara orang seperti dirinya.
"Saya mulai membuka perguruan taichi di kampung. Alhamdulillah, peminatnya setiap hari terus bertambah," kata Eulis yang sedang menunggu janji dari Kementerian Ketenagakerjaan atas penghargaan yang hendak diterimanya itu.
Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan insiden kecil seperti itu, segera mengambil iniasiatif mengambil alih pimpinan pembacaan selawat. Keadaan berangsur terkendali dan acara inti oleh salah satu TKI yang terbiasa memberikan tausiah dimulai.
Itulah sekelumit gambaran mengenai kegiatan yang berdampak positif bagi para pekerja migran Indonesia di Taiwan. Mereka tidak melulu mencari nafkah untuk kebutuhan lahiriah, tetapi juga berupaya memenuhi kebutuhan batiniah.
Mereka bukan saja menjadi pahlawan bagi negaranya yang sedang butuh asupan devisa agar bisa membayar utang kepada negara lain atau lembaga donor. Pada tahun lalu, misalnya, mereka bisa mendatangkan devisa senilai 668,9 miliar dolar AS atau setara Rp9 triliun.
Mereka juga menjadi pahlawan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya agar bisa "survive" secara ekonomi setelah lapangan pekerjaan di negeri sendiri makin terbatas dan tidak sebanding dengan pesatnya populasi penduduk.
"Sebenarnya, bukan pilihan terbaik kami datang ke sini. Akan tetapi, bukan berarti kami tidak bisa melakukan yang terbaik untuk sesama," kata Tarnia Tari sebagai pimpinan Majelis Taklim Hasanah Onair dalam pesan singkatnya kepada Antara di Jakarta, belum lama ini.
Pada saat libur kerja, dia mengumpulkan teman-temannya, baik yang satu majelis maupun tidak, untuk bertatap muka. "Kalau sudah di darat yang dibahas bukan materi pengajian, melainkan mendiskusikan tentang kemajuan majelis atau saling berbagi hikmah atau bahkan curhat soal pekerjaan," kata TKI asal Ponorogo, Jawa Timur, yang juga tercatat sebagai tenaga sukarelawan Satgas TKI bentukan perwakilan pemerintah Indonesia di Taiwan itu.
Merah Putih di Taichi
Perjuangan tidak kalah gigihnya ditunjukkan Eulis Komariah. Hidup bertahun-tahun di negeri orang dimanfaatkannya untuk mempelajari budaya masyarakat setempat di sela-sela kesibukannya.
Majikannya di Pingtung County menularkan keahlian taichinya kepada perempuan kelahiran Bandung pada tanggal 11 Maret 1968 itu. Ketekunan ibu dua anak tersebut membawa hasil meskipun usianya sudah tidak muda lagi.
Sejak 2012 sampai saat ini, Eulis sudah mengumpulkan 22 keping medali dan tujuh buah trofi dengan catatan 16 kali juara pertama, delapan kali juara kedua, dan lima kali juara ketiga dari berbagai ajang kejuaraan seni beladiri tradisional Taiwan itu.
Bahkan, sejak 2014 hingga saat ini dia masih tercatat sebagai juara dunia taichi untuk kategori atlet non-Taiwan. Dia juga orang Indonesia pertama yang mengantongi sertifikat Dewan Juri Internasional.
"Saya turut bangga di setiap kali ada kejuaraan taichi di Taiwan, bendera Indonesia hampir selalu berkibar," tuturnya.
Eulis tentu saja tidak hanya mampu mengibarkan Merah Putih di luar negeri, tetapi prestasinya seakan mengikis predikat negatif Indonesia sebagai "bangsa babu" di mata negara lain, khususnya di Taiwan yang pertumbuhan perekonomiannya juga berkat kontribusi 250.000 buruh migran asal Indonesia.
Meskipun penghargaan dan pengakuan dari pemerintah Indonesia tidak sebesar yang diberikan kepada atlet cabang olahraga lainnya yang berprestasi di kancah internasional, Eulis tidak pernah lelah untuk berjuang.
Namun, dia sempat menyayangkan perwakilan pemerintah Indonesia yang tidak memberikan perhatian seperti yang biasa dilakukan oleh pimpinan sebelumnya pada saat dia harus mempertahankan gelar juara dunianya beberapa pekan yang lalu.
"Padahal, saya bertanding di Banqiau, tidak jauh dari Taipei. Bahkan, yang membelikan tiket p.p. ke sini, majikan saya. Bersyukur saya masih bisa mempertahankan juara," tuturnya dengan nada memelas.
Sejak kontrak kerjanya berakhir pada tanggal 19 Oktober 2016, dia harus meninggalkan Taiwan. Namun, karena prestasinya yang membanggakan itu, pemerintah Taiwan memberikan kesempatan kepada Eulis untuk mengajar Taichi di Pingtung dan sekitarnya pada saat-saat tertentu.
"Selama 3 tahun saya bebas keluar-masuk Taiwan. Majikan saya juga bersedia menanggung biaya perjalanan dari Indonesia," ujarnya.
Di sela-sela mengurus suami dan kedua anaknya di Kabupaten Bandung Barat, Eulis mulai mempersiapkan generasi yang diharapkan bisa berprestasi melampaui pencapaiannya meskipun tidak harus tinggal di negara orang seperti dirinya.
"Saya mulai membuka perguruan taichi di kampung. Alhamdulillah, peminatnya setiap hari terus bertambah," kata Eulis yang sedang menunggu janji dari Kementerian Ketenagakerjaan atas penghargaan yang hendak diterimanya itu.
Pewarta: Mtkw. Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016