Pemufakatan Paris membawa sejumlah hal besar, berat, dan kredibilitas."

Washington & Marakas (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump terlihat berupaya mencari cara cepat untuk menarik diri dari Pemufakatan Paris, upaya global untuk mengatasi perubahan iklim, demikian keterangan dari sumber tim transisi Kepresidenan AS.

Bahkan, sumber tersebut menyebutkan bahwa Trump menentang pelebaran dukungan internasional untuk rencana untuk memotong emisi gas rumah kaca.

Sejak Trump terpilih menjadi Presiden AS pada 8 November 2016, banyak pemerintahan negara mulai dari Tiongkok hingga ke negara-negara pulau kecil telah menegaskan kembali dukungan untuk Pemufakatan Paris 2015 dalam Konperensi Para Pihak mengenai Perubahan Iklim yang melibatkan 200 negara hingga 18 November di Marakas, Maroko.

Trump, yang dalam kampanye pemilihan umum di AS menyebut isu pemanasan global sebagai tipuan dan berjanji untuk mundur dari Pemufakatan Paris, sedang mempertimbangkan cara untuk memotong prosedur hingga empat tahun mendatang sehingga dapat meninggalkan kesepakatan itu.

Hal itu dikemukakan sumber yang bekerja pada tim transisi Trump untuk energi internasional dan kebijakan iklim.

"Itu nekat, Pemufakatan Paris untuk mulai berlaku sebelum pemilihan pada hari Selasa," kata sumber itu kepada Reuters, yang berbicara tanpa menyebut nama. Ia merujuk pelaksanaan Pemilihan Umum di AS pada Selasa (8/11) yang hasilnya mengantar Donald Trump sebagai presiden terpilih mengalahkan Hillary Clinton.

Ia pun mengemukakan, ada upaya alternatif mengirim surat penarikan dari Konvensi 1992 yang merupakan perjanjian induk dari Pemufakatan Paris, membatalkan keterlibatan AS dalam waktu satu tahun, atau untuk mengeluarkan perintah presiden guna menghapus tanda tangan AS dari mufakat tersebut.

Banyak negara telah menyatakan harapan agar AS tetap dalam posisinya mendukung Pemufakatan Paris. Tuan rumah Maroko mengatakan bahwa perjanjian yang bertujuan untuk fase lanjutan menurunkan gas rumah kaca pada paruh kedua abad ini diharapkan cukup kuat tanpa ada pihak yang menarik diri.

"Jika salah satu pihak memutuskan untuk menarik diri, maka itu memperlihatkan bahwa perjanjiannya dipertanyakan," kata Menteri Luar Negeri Salaheddine Mezouar, selaku Ketua Sidang Konperensi Para Pihak (COP) ke-22 untuk Perubahan Iklim di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam konferensi persnya.

Mufakat Paris dicapai oleh hampir 200 negara pada Desember 2015, dan kini telah secara resmi disahkan oleh 109 mewakili 76 persen dari para pihak pendukung upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, termasuk AS yang semasa Presiden Barrack Obama memberikan komitmen menurunkannya hingga 18 persen.

Mufakat tersebut bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu yang telah dikaitkan dengan peningkatan kerusakan ekonomi dari terciptanya gurun, kepunahan hewan dan tumbuhan, gelombang panas, banjir dan meningkatnya permukaan air laut.

Ketua Komisi Perubahan Iklim PBB Patricia Espinosa menolak untuk mengomentari pernyataan Trump menurut sumber yang dikutip Reuters.

"Pemufakatan Paris membawa sejumlah hal besar, berat, dan kredibilitas," katanya dalam konferensi pers.

Dia mengatakan bahwa PBB berharap untuk hubungan yang kuat dan konstruktif dengan Trump.

Sumber dari pihak Trump menyalahkan Presiden Barack Obama untuk bergabung atas Pemufakatan Paris dengan sebuah perintah eksekutif, tanpa mendapatkan persetujuan dari Senat.

"Tidak akan ada kejatuhan diplomatik ini pada agenda internasional yang lebih luas, jika Obama tidak bergegas mengadopsinya," demikian keterangan sumber Tim Transisi Trump yang tidak bersedia disebut jati dirinya itu kepada Reuters.

Pewarta: Priyambodo RH
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016