Jakarta (ANTARA News) - Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebutkan sekuritisasi aset di negara-negara berkembang Asia telah berperan pasca krisis finansial 1997, bahkan hal itu berpotensi digunakan untuk membiayai kebutuhan infrastruktur yang besar, mendukung pembiayaan mikro dan pembangunan sumber daya manusia.
Menurut kajian Asia Bond Monitor (ABM) ADB edisi April yang dikutip dari situs resmi ADB, Rabu, selama ini pemanfaatan sekuritisasi aset di Asia Timur masih moderat dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Utara, padahal ia memiliki potensi yang besar untuk pembangunan regional.
Untuk itu, menurut kajian tersebut, pemerintah dan parlemen harus membangun kerangka hukum dan pajak yang transparan, pedoman akuntansi yang jelas dan standar baku di kawasan itu.
"Adalah penting bagi pemerintah dan pelaku industri keuangan untuk mendukung standarisasi assessment kredit dan dokumentasi di kawasan ini," kata Jong-Wha Lee, Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional (OREI) ADB.
ADB sendiri telah mengembangkan beberapa inisiatif untuk mendukung pemanfaatan sekuritisasi untuk mendukung pembiayaan melalui "microfinance", pengadaan kredit, dan pembentukan pinjaman perbankan jangka panjang bagi mahasiswa bagi pembangunan sumber daya manusia dan diversifikasi pembiayaan investasi infrastruktur.
Sekuritisasi aset mendapat momentum di Asia setelah krisis keuangan 1997, terutama dalam penyelesaian utang di Korsel dan sebagai instrumen untuk memperbaiki pinjaman bermasalah (NPL). Hasil dari metode tersebut pada saat itu adalah pembentukan beberapa perusahaan manajemen aset untuk membeli dan merestrukturisasi aset rusak.
Di negara-negara Asia Timur, efek beragun hipotik (mortgage-backed securities) komersial dan residential mendominasi Hongkong, China, Jepang, dan Singapura, sementara efek beragun aset (asset backed securities) mendominasi Korea.
Pengenalan prinsip Basel I memicu timbulnya berbagai kerumitan dan regulasi di kawasan tersebut, yang memberi investor perlindungan dan kepercayaan dalam meningkatkan ketertarikan pada sekuritisasi. Sedangkan Basel II diharapkan bisa menciptakan standar baku untuk pengawasan dan kepatuhan, namun belum diketahui dampaknya pada UKM.
ABM juga menyebutkan pasar obligasi Asia tumbuh cepat pada semester kedua 2006, dan mendorong pertumbuhan 2006 menjadi 32,4 persen, yang artinya di atas tahun 2004-2005.
ABM mengkaji perkembangan pasar obligasi dengan mata uang lokal di Asia Timur, yang dianggap sebagai ASEAN plus Hongkong, China, dan Korsel.
Pasar obligasi pemerintah di Asia tumbuh 30 persen pada 2006 dengan berbasis pada penerbitan beberapa institusi pemerintahan dan pemda.
Jumlah penerbitan obligasi korporasi tumbuh 36 persen pada 2006, terutama karena meningkatnya penerbitan di China dan trend perusahaan pemerintah menerbitkan obligasi dalam koridor pasar korporasi.
Pasar utang Asia akan terus menarik bagi investor global yang mencari imbal hasil besar, namun meningkatnya volatilitas pasar akan menaikkan beban pembiayaan, dan memberi parlemen insentif untuk memperdalam pasar keuangan. (*)
Copyright © ANTARA 2007