Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia pada Jumat melakukan operasi moneter dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN), dan melepas valuta asing di pasar, untuk menstabilisasi nilai tukar rupiah yang pada Jumat pagi di pasar spot sempat melemah ke level Rp13.800.
"Kami umumkan ke pasar, BI ready to buy SBN," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityswara di Jakarta, Jumat.
Mirza mengatakan BI melihat kondisi nilai tukar rupiah sudah jauh dari takaran nilai fundamentalnya. Setelah BI mengumumkan intervensinya, ujar Mirza, kurs rupiah bergerak menguat. Selama satu jam, BI melakukan lelang untuk buy back SBN.
"Jadi setelah BI umumkan membeli SBN dan hadir di valas saya lihat rupiah ke sekitar Rp13.500 dan terus membaik," kata dia.
Menurut Mirza, merosotnya rupiah pada pembukaan pasar Jumat pagi ini lebih karena reaksi pelaku pasar atas analisis-analisis dampak ekonomi, menyusul kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah tersebut diyakini Mirza hanya temporer.
Trump dikenal memiliki kebijakan ekonomi yang protektif dan konservatif sehingga dikhawatirkan akan menghambat perdagangan negara-negara mitra dagang AS.
"Analisis itu menurut kami sih ada dasarnya, tapi itu buat negara yang sangat berkaitan dengan AS. Maka pada 8-9 November 2016 nilai tukar domestik Meksiko (negara yang berhubungan dagang erat dengan AS) melemah 10 persen dalam sehari," kata Mirza.
Selain karena sentimen tersebut, Mirza mengatakan, kurs rupiah juga terimbas kekhawatiran pelaku pasar mengenai kebijakan pembatasan perdagangan valuta asing, seperti yang dilakukan beberapa negara lain.
Terkait rumor tersebut, Mirza menegaskan BI tidak akan melakukan kebijakan pembatasan perdagangan valas.
"Karena yang paling terbaik adalah biarkan pasar berjalan dengan baik. Sisi suplai dan permintaan juga akan ada keseimbangan, dan para eksportir juga sudah mulai masuk untuk suplai valas itu yang membuat kurs kembali stabil," kata dia.
Pada Kamis malam (10/11), sentimen global akibat kekhawatiran kebijakan ekonomi Trump terus membayangi pasar keuangan negara-negara mitra dagang AS seperti Meksiko, Afrika Selatan, dan Brasil.
Sentimen negatif tersebut juga memengaruhi nilai tukar rupiah. Pasalnya, di pasar luar negeri, rupiah diperdagangkan dalam transaksi pasar non deliverable forward (NDF) yang tidak mencerminkan fundamental rupiah.
Gejolak kurs pada Kamis malam itulah, kata Mirza, yang merembet pada pasar keuangan domestik di Jumat pagi. Alhasil kurs rupiah di Jumat pagi merosot signifikan.
"Pasar NDF melemah tanpa melihat fundamental Indonesia. Pokoknya melihat mata uang yang lain,yang melemah maka trader melihat. Saat pagi rupiah dibuka Rp13.400, mengikuti apa yang terjadi di Meksiko, Brasil, dan lainnya," ujar dia.
Jika merujuk pada pembukaan pasar Jumat pagi, rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta sebesar Rp13.639, atau melemah 508 poin dibandingkan sebelumnya di posisi Rp13.131 per dolar AS.
Kondisi rupiah pada Jumat pagi itu, kata Mirza, tidak sesuai fundamentalnya.
Fundamental ekonomi Indonesia hingga awal November 2016 ini justru dalam keadaan baik dan stabil. Indikatornya, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2016 sebesar 5,02 persen, atau terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Filipina.
Neraca transaksi berjalan triwulan III 2016 juga membaik, dengan penurunan defisit menjadi 1,83 persen dari Produk Domestik Bruto.
Begitu juga dengan neraca pembayaran Indonesia yang mengalami kenaikan surplus menjadi 5,7 miliar dolar AS pada triwulan III-2016 dari triwulan sebelumnya sebesar 2,2 miliar dolar AS.
"Jadi tidak sesuai fundamental. Pasar itu kalau sudah naik banyak, terus ada analisis negatif supaya punya alasan untuk jual. Saya kan bekas orang pasar saya tahu analisis seperti itu. Kalau harga sudah turun banyak, baru nanti dibuat alasan bagus banget, pasar itu begitu," ungkap Mirza.
Pada Jumat siang, menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar AS Rate (Jisdor), rupiah kembali menguat ke level Rp13.350.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016