Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia menyatakan pelemahan rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini hanya bersifat temporer atau sementara, dan tidak mencerminkan nilai rupiah sesuai fundamental ekonomi domestik saat ini.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Jumat, mengatakan pelemahan rupiah pada Jumat pagi ini karena reaksi pelaku pasar atas analisis-analisis dampak ekonomi, menyusul kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Trump dikenal memiliki kebijakan ekonomi yang protektif dan konservatif.
"Analisis itu menurut kami sih ada dasarnya, tapi itu buat negara yang sangat berkaitan dengan AS. Maka pada 8-9 November 2016 nilai tukar domestik Meksiko (negara yang berhubungan dagang erat dengan AS) melemah 10 persen dalam sehari," kata Mirza.
Hingga Kamis malam (10/11), analisis dampak ekonomi Trump terus berkembang di pasar keuangan negara-negara mitra dagang AS seperti Meksiko, Afrika Selatan, dan Brasil.
"Sayangnya, di pasar luar negeri, rupiah diperdagangkan dalam transaksi pasar non deliverable forward (NDF) sehingga tidak mencerminkan fundamentalnya," ungkapnya.
Gejolak kurs di pasar keuangan luar negeri pada Kamis malam itulah yang membuat kurs rupiah di Jumat pagi melemah hingga berada di sekitar Rp13.400.
"Pasar NDF melemah tanpa melihat fundamental Indonesia. Pokoknya melihat mata uang yang lain, yang melemah maka trader karena lihat melemah sehingga pagi rupiah dibuka Rp13.400, mengikuti apa yang terjadi di Meksiko, Brasil, dan lainnya," ujar dia.
Mirza mengatakan BI sudah melakukan dua kali operasi moneter pada Jumat pagi, karena melihat kurs rupiah hingga Jumat siang sudah mencapai level psikologis Rp13.700 per dolar AS.
Nilai itu, kata Mirza tidak sesuai fundamental ekonomi Indonesia.
Fundamental ekonomi Indonesia hingga awal November 2016 ini justru dalam keadaan baik dan stabil. Indikatornya, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2016 sebesar 5,02 persen, atau terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Filipina.
Neraca transaksi berjalan triwulan III 2016 juga membaik, dengan penurunan defisit menjadi 1,83 persen dari Produk Domestik Bruto.
Begitu juga dengan neraca pembayaran Indonesia yang mengalami kenaikan surplus menjadi 5,7 miliar dolar AS pada triwulan III-2016 dari triwulan sebelumnya sebesar 2,2 miliar dolar AS.
"Jadi tidak sesuai fundamental. Pasar itu kalau sudah naik banyak, terus ada analisis negatif supaya punya alasan untuk jual. Saya kan bekas orang pasar saya tahu analisis seperti itu. Kalau harga sudah turun banyak, baru nanti dibuat alasan bagus banget, pasar itu begitu," ungkap Mirza.
Pada Jumat siang, menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar AS Rate (Jisdor), rupiah berada di Rp13.350.
Jika merujuk pada pembukaan pasar Jumat pagi, rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta sebesar Rp13.639, atau melemah 508 poin dibandingkan sebelumnya di posisi Rp13.131 per dolar AS.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016