Jakarta (ANTARA News) - Dunia tercengang menyaksikan tokoh kontroversial yang kerap mengeluarkan retorika-retorika memberontak terhadap kemapanan dan menganjurkan intoleransi, justru memenangkan Pemilu Amerika Serikat 2016 untuk menjadi presiden ke-45 negara paling kuat di dunia itu.

Donald Trump telah memupus semua harapan bagian besar dunia akan hadirnya presiden perempuan pertama Amerika Serikat dan juga harapan tercoretnya seorang pemimpin yang fenomena kemunculannya disebut Presiden Meksiko, Enrique Pena Nieto, mirip dengan kemunculan Adolf Hitler karena memfabrikasi ketakutan dan kemarahan rakyatnya terhadap serbuan asing yang membuat warga Amerika Serikat tersisih dan melarat di negerinya.

Trump juga telah membungkam semua ramalan dan analisis media massa serta pakar bahwa dia tidak akan mengalahkan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.

Trump tahu bahwa semua orang melulu memusatkan perhatian pada kata-kata yang keluar dari mulutnya, bukan melihat dan menyimak apa yang membuat bagian besar rakyat Amerika marah, khawatir, takut dan merasa ditinggalkan oleh elite politiknya. Trump fokus ke sini, tak peduli media terus-terusan menyudutkan dia.

Sekitar sepekan sebelum pemungutan suara 8 November itu, CNN menurunkan laporan mengenai kehidupan warga Amerika Serikat di perbatasan Meksiko.

Seorang kakek yang memiliki peternakan sapi di perbatasan Amerika Serikat-Meksiko mengaku tidak sependapat dengan intoleransi Trump, tetapi dia merasa Trump sebagai tokoh yang paling menangkap kekhawatiran mereka terhadap keadaan di perbatasan yang persis ada di depan mereka.

Mereka tahu sekali para pemimpin politik membiarkan perbatasan tak dijaga sehingga pendatang gelap dari Meksiko bebas keluar masuk, bahkan juga gangster dan kriminal narkoba. Ketika Trump bilang akan membangun tembok besar yang memisahkan Amerika Serikat dari Meksiko, orang-orang seperti kakek di perbatasan Amerika Serikat-Meksiko itu menyambutnya.

Peter Andreas Thiel, pengusaha dan manajer hedge fund Amerika keturunan Jerman, berkata kepada klub wartawan Amerika bahwa, "Media tak pernah serius menanggapi dia, namun selalu menanggapi dia secara harafiah."

Thiel melanjutkan, "Media ingin tahu bagaimana dia bisa mendeportasi begitu banyak imigran tak berdokumen atau bagaimana dia membersihkan dunia dari ISIS. Kita semua ingin rincian. Tapi banyak pemilih yang berpikiran sebaliknya. Mereka serius menanggapi dia tetapi tidak menanggap secara harafiah."

"Para pemilih tahu Trump tidak benar-benar berencana membangun tembok (di perbatasan AS-Meksiko). Yang para pemilih dengarkan adalah 'kita akan punya kebijakan imigrasi yang lebih waras dan lebih masuk akal," kata Thiel.

Trump jelas menangkap kemarahan penduduk Amerika terhadap banyak masalah bangsa, termasuk perdagangan dan imigrasi. Dan dia teruskan semua itu menjadi pesan-pesannya kepada rakyat bahwa inilah yang akan dia akan lakukan di Gedung Putih.

Rakyat suka risk-taker
Yang membedakan Hillary Clinton dari Trump, setidaknya dari kaca mata kubu Trump, adalah cara bagaimana keduanya dalam menghadapi risiko.

"Saya sama sekali tidak melihat Hillary sebagai orang yang berani mengambil risiko. Sebaliknya Donald Trump itu risk-taker (pengambil risiko). Meskipun Donald dianggap sembrono, rakyat suka kepada risk-taker. Barack Obama risk-taker. Bill Clinton juga risk-taker," kata manajer kampanye Partai Republik, Kellyanne Elizabeth Conway.

Setelah Mitt Romney kalah empat tahun silam, Republik didesak mengalihkan perhatian kepada pemilih wanita dan minoritas demi menyelamatkan partai ini, namun Trump justru melakukan sebaliknya. Dia bersikukuh menampilkan diri sebagai antitesis murni Obama, tak peduli suara perempuan dan minoritas.

Berbalikkan dengan Obama yang peragu, sabar dan toleran, Trump malah mengesankan diri tidak toleran, keras cenderung kasar, dan tidak sabaran. Gilanya dengan gaya yang antitesis dari Obama, Trump malah dilihat paling pas merepresentasikan pemberontakan terhadap kemapanan.

Akibatnya, dia merampas hampir semua negara bagian suara mengambang (swing state) termasuk Ohio dan Florida. Dia juga mengubah paling sedikit lima negara bagian yang dulu memilih Demokrat menjadi memilih Republik.

Surat kabar Inggris, The Guardian, menulis bahwa di mata rakyat, Trump adalah pahlawan karena berani menggugat elite kemapanan yang dikeluhkan bagian terbesar pemilih telah ingkar dari janji-janjinya.

"Trump memandang Hillary Clinton sebagai personifikasi dari yang busuk di Washington. Dia benar-benar telah menciptakan koneksi antara sistem yang disebutnya curang, korupsi di Washington, kebuntuan di Washington dan pendekatan 'omong doang tanpa tindakan' dari Washington. Bagi dia lawannya bukan sekadar Hillary. Hillary hanyalah simbol," kata konsultan politik terkenal Amerika, Paul Manafort.

Kalimat Manafort itu sejalan dengan argumentasi pengusaha dan aktivis politik Amerika Serikat, Carl Paladino, yang menganggap apa yang dibawa Trump adalah revolusi terhadap sistem yang korup yang diketahui luas rakyat Amerika Serikat.

"Mereka tahu pemerintah mereka sudah tidak nyambung dengan mereka. Mereka tahu kelas menengah ditinggalkan. Mereka juga tahu, mengapa kita punya begitu banyak miliarder, sementara sebagai kelas pekerja, kita tetap miskin," kata Manafort, seperti dikutip Washington Post.

Selamat tinggal basa-basi
Yang unik dari kemunculan Trump adalah fakta aneh di dunia saat ini mengenai semakin umumnya rakyat di banyak negara memilih pemimpin blak-blakan, berani melawan risiko, dan berani memberontak terhadap popularitas.

Pada beberapa hal, pemimpin-pemimpin seperti Trump terlihat sangat menakutkan karena temperamennya yang pemarah akan menjeremuskan dunia dalam kubangan amarah sehingga dunia jauh dari damai.

"Kita tidak tahu apa-apa yang akan dilakukan presiden Amerika ini jika suara angkara merasuki kantor (presiden) dan suara angkara menjadi orang paling berkuasa di dunia," kata Norbert Roettgen, pejabat tinggi partai berkuasa di Jerman Uni Demokrat Kristen (CDU), kepada radio Deutschlandfunk.

Tetapi faktanya, seperti sebuah trend, orang-orang blak-blakan seperti Trump justru menumpuk di mana-mana. Dari Turki sampai Jepang, dari Rusia sampai Filipina dan Iran, dari Rodrigo Duterte, Evo Morales, Mahmoud Ahmadinejad, Recep Tayyip Erdogan, sampai banyak lagi.

Duterte muncul sebagai antitesis dari keragu-raguan rezim sebelumnya dalam melawan kriminal narkotika dan gangster. Presiden Filipina ini bahkan pasang badan ketika polisi-polisi menghabisi para penjahat dan orang-orang yang tersangkut dengan kejahatan narkotika.


Begitu dunia mengkritik karena banyak darah ditumpahkan akibat perang melawan penjahat narkotika, Duterte malah mengumpat Presiden AS Barack Obama dengan "son of a bitch".

Dari Jepang, ada Shinzo Abe yang bosan harus terus menerus rendah hati karena dosa besar masa lalu yang tidak termaafkan oleh China, ketika saat bersamaan China agresif mengklaim sana sini, termasuk di Asia Tenggara.

Di Rusia, ada Vladimir Putin yang tak banyak bicara, tapi aksi-aksinya mengerikan. Mencaplok Semenanjuang Krimea dari Ukraina karena tahu dunia hanya bisa mengumpat tanpa bisa berbuat. Menggempur Suriah ketika dunia marah tetapi ragu menindak ISIS.

Ironisnya sejak Rusia turun tangan di Suriah, ISIS malah pelan-pelan ambruk, padahal Rusia tak hanya mengincar ISIS, tetapi semua lawan Presiden Suriah, Bashar al-Assad, yang adalah sekutu Rusia.

Militer Irak bahkan sampai berterima kasih kepada Rusia karena berkat negara ini AS menjadi terpancing lebih agresif memerangi ISIS di Irak sehingga riwayat ISIS di Irak sedang berada pada bab penutupnya.

Tentu saja ulah Putin itu membahayakan dunia karena dia juga memanipulasi status istimewa Rusia di PBB untuk berbuat onar di mana-mana, tetapi dunia tidak boleh lupa bahwa tatanan dunia yang ada saat ini mesti dirombak karena para perusak dunia memanipulasi hukum-hukum madani untuk keluar dari jerat hukum atas aksi jahat mereka.

Selain itu, untuk beberapa hal, Putin, Duterte, atau mungkin Trump nanti, seperti memesankan bahwa kalau lawan dan ekstremis-ekstremis bebas mengumpat dalam kalimat kasar, menghasut dan menganjurkan membunuh yang tak sependapat ketika hukum melarang dan etika mencegahnya, mengapa pemimpin tak bisa balik mengkasari atau tegas menghukum mereka?

Di luar retorika rasis, tidak toleran dan kasar yang tidak boleh ditiru siapa pun meskipun itu mungkin semata kemasan kampanye untuk menarik mayoritas pemilih AS yang lagi marah dan merasa diabaikan elite politik, ada hikmah dari Donald untuk dunia dan Indonesia.

Donald mungkin akan seperti Hitler atau mungkin seperti Ronald Reagan atau bukan keduanya, tetapi ada pelajaran menarik dari dia, terutama untuk calon pemimpin, yakni dengarkanlah suara rakyat, tegaslah, pakailah bahasa rakyat, dan berhenti basa-basi.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016