Jakarta (ANTARA News) - Donald Trump akhirnya menjadi presiden Amerika Serikat dalam kemenangan salah satu Pilpres Amerika Serikat yang paling bersejarah.

Dia menjadi bintang reality-show pertama dan non politisi pertama sejak Dwight Eisenhower yang menjadi calon presiden resmi sebuah partai besar.

Pada usia 70 tahun, dia menjadi orang paling tua yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.

Berikut lima alasan dari koran Inggris The Guardian, bagaimana dia bisa terpilih menjadi presiden negara terkuat di dunia, dengan marjin suara yang begitu besar dari lawannya Hillary Clinton.

Pesan yang sederhana
Trump meniru dan mempermak janji Ronald Reagan mengenai bagaimana membuat AS berjaya kembali yang memuat pesimisme sekaligus optimisme, dan ketakutan sekaligus harapan. Janji-janjinya yang membumi serta mudah dicerna orang dan patriotis telah menarik perhatian rakyat di negara di mana patriotisme tak bisa diremehkan.

Selebriti
Pada 2003 Trump menjadi pengasuh acara reality show televisi The Apprentice. Selama berpuluh tahun para pemirsa televisi mengenal citra Trump sebagai pengusaha sukses, bos yang punya kekuasaan untuk berkata "Kamu dipecat!", dan orang yang bisa menyelesaikan masalah serta tahu segalanya.
Pada era media seperti sekarang, Trump diuntungkan tidak hanya oleh modal finansial, tetapi juga oleh modal selebritas. Dan pada 8 November dia menuai berkah dari kedua hal itu.

Lawannya
Trump tahu lawan yang dihadapinya tidak populer. Sebagai istri seorang mantan presiden yang pernah dua kali menjabat presiden, Hillary adalah wajah yang mewakili kelompok kemapanan yang ada pada tahun ketika semua orang menuntut perubahan. Akibatnya antusiasme kepadanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kemunculan Obama pada 2008.
Kerentanan Hillary terlihat ketika dia susah payah mengalahkan Senator Bernie Sanders yang menjadi lawannya pada pemilihan calon presiden dari kubu Demokrat. Ironisnya Sander dan Trump sama-sama menolak perdagangan bebas dan globalisasi.

Reaksi Republik
Trump memerangi partainya sendiri. Dia mencerca kaum kemapanan di Republik. Dia serang keluarga Bush, Ketua DPR Paul Ryan, bekas calon presiden Mitt Romney dan John McCain, serta banyak lagi.
Ini memang menyatukan Republik untuk menyudutkan balik Trump, namun di mata rakyat Trump dianggap pahlawan karena berani menggugat kelompok kemapanan di mana pemilih Republik kerap mengeluhkan para wakil rakyat pilihan mereka dari Republik telah mengingkari janji-janji mereka. Jadi ketika Trump diserang kelompok kemapanan Republik dia malah dibela rakyat.

Antitesis
Ketika Obama terpilih pertama kali pada 2008, 74 persen pemilih adalah kulit putih. Pada 2012, angka itu turun menjadi 71 persen, dan pada 2016 diperkirakan turun menjadi 69 persen. Setelah Mitt Romney kalah empat tahun silam, Republik didesak mengalihkan perhatian kepada pemilih wanita dan minoritas agar partai selamat. Namun Trump justru melakukan sebaliknya. Dia bersikukuh menampilkan diri sebagai antitesis murni Obama, tak peduli suara perempuan dan minoritas. Dia justru menampilkan diri sebagai antitesis Obama yang peragu dan sabar. Berbalikkan dengan Obama yang peragu, sabar dan toleran, Trump malah terkesan tidak toleran, keras cenderung kasar, dan tidak sabaran.
Mengenai hal ini, David Axelrod, otak di balik sukses Obama pada Pemilu lalu, pernah berkata, ""jadi siapa di antara orang-orang Republik yang lebih antitesis untuk Obama ketimbang Trump yang tinggi hati, otoriter, dan tanpa tedeng aling-aling?"


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016