Menurut dia, video unggahan Buni berdurasi 31 detik itu didapatkan dari salah satu media, yang ternyata mengutip dari laman resmi milik Pemda DKI Jakarta. "Pak Buni Yani, sebagai warga negara hanya menyatakan kebebasan berpendapatnya. Dia mengupload video durasi 31 detik (pada 6 Oktober 2016). Akun yang pertama kali mengupload itu media NKRI (berdurasi 1 jam 40 menit) ," tutur Aldwin di Jakarta, Senin.
Dalam akunnya di Facebook, Buni lalu menuliskan pendapat pribadinya atas video itu melalui beberapa kata. "Dia tulis pendapat pribadi, 'Ini Penistaan Agama?'. Persoalan intisari yang dia tulis tidak ada persoalan hukum, karena setiap orang berhak menyatakan pendapatnya," kata Aldwin.
Setelah itu, lanjut dia, munculah skenario yang menggiring Buni Yani dituduh mengedit video dan menghilangkan kata "pakai".
Belum lama ini, Buni bahkan dilaporkan oleh komunitas Ahok-Djarot atas tuduhan mengedit video Ahok yang kemudian diartikan sebagai tindakan penghinaan terhadap Islam.
Aldwin juga mengatakan bahwa pernyataan Kadivhumas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar yang menyebut Buni berpotensi sebagai tersangka, mendahului proses penyidikan.
"Statement Pak Boy Rafli, mendahului proses penyidikan, yang menyatakan Pak Buni Yani calon tersangka. Pertama, Pak Buni Yani tidak pernah mengedit video yang selama ini viral, yang isinya Pak Ahok menurut MUI menista agama," kata dia.
Menurut Aldwin, laporan ini merupakan kasus sampingan, sementara dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok merupakan kasus utama. "Untuk itu, harusnya polisi fokus terlebih dahulu mengusut kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Bukan malah mengeluarkan pernyataan blunder dan tidak objektif bahwa Buni Yani yang berpotensi menjadi tersangka," tutur Aldwin.
Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016