Administrasi kependudukan merupakan alat negara untuk mengetahui peristiwa-peristiwa penting yang dialami penduduknya seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian dan peristiwa kependudukan lainnya seperti jejak-rekam mutasi domisili penduduknya.

Dari Sistem Administrasi Kependudukan ini, negara akan mengetahui peta penduduknya seperti jumlah penduduk, umur, jenis pekerjaan, alamat, penyebaran penduduk dan bahkan bisa mengetahui proyeksi peta penduduk pada untuk masa yang akan datang.

Pemerintah juga memiliki database kependudukan untuk memberikan pelayanan publik kepada penduduknya seperti hak memilih, akses layanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

UU Nomor 23 tahun 2006 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, mengamanahkan supaya pemerintahlah yang aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat (stelsel aktif), dalam pemenuhan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan dokumen kependudukannya.

Diakui, bahwa kondisi administrasi kependudukan kita saat ini, semakin hari semakin membaik, database SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), selalu diperbaharui dengan versi-versi terbaru.

Sistem komunikasi kepala-kepala dinas dengan Ditjen Dukcapil sangat dinamis dengan adanya "whatsapp group", anggaran dari pusat untuk dinas kependudukan dan pencatatan sipil di kabupaten- kota juga - cukup signifikan. Selain itu, sumber daya manusianya juga sudah mulai ada perubahan.

Pertanyaannya adalah, apakah untuk Pilkada awal tahun 2017, masih akan tetap ada masalah pada data pemilih yang akan diterima KPU-KPU dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dispendukcapil)?

Dengan selalu munculnya permasalahan pada data pemilih setiap hendak pilkada, maka sorotan kepada administrasi kependudukan ini kian tajam. Reformasi penataan administrasi kependudukan yang dulunya dipandang sebelah mata, kini sangat diperlukan.

Pertanyaannya adalah reformasi yang bagaimanakah yang dibutuhkan oleh bidang ini sehingga tercapai tujuan dari misi dan visi administrasi kependudukan?.

Setelah terbitnya aturan-aturan perundangan yang cukup baik tentang administrasi kependudukan,maka ada dua hal yang perlu dilakukan pembenahan, yaitu memperluas jangkauan dan cakupan dokumen pelayanan.

Jangkauan pelayanan
Lokasi kantor dispendukcapil yang biasanya berada di pusat kabupaten dan kota, sering menjadi kendala jarak bagi penduduk desa atau pedalaman karena hanya akan membuang waktu, tenaga dan biaya.

Itulah sebabnya, pada umumnya penduduk hanya akan mengurus dokumen kependudukan mereka kalau sudah dalam keadaan terdesak, seperti mau sekolah, melamar pekerjaan dan sebagainya.

UU No. 24 tahun 2013 revisi dari UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengamanatkan bahwa untuk mendekatkan pelayanan adminduk kepada masyarakat, supaya pemerintahlah yang aktif melayani dokumen kependudukan penduduknya dengan membentuk UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) di kecamatan-kecamatan sebagai perpanjangan dispendukcapil.

Namun hingga saat ini, bisa dihitung dengan jari daerah yang memiliki UPTD-UPTD.

Selain pembangunan UPTD, UU ini juga mengamatkan supaya bupati wali kota mengangkat petugas registrasi satu orang di tiap-tiap desa=kelurahan, yang tugasnya khusus mengurusi Administrasi Kependudukan di daerah tersebut. Petugas registrasi inilah yang menjadi perpanjangan tangan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di desa dan kelurahan.

Selain membentuk UPTD di kecamatan dan mengangkat petugas registrasi di desa-kelurahan, untuk memperluas jangkauan pelayanan, beberapa dispendukcapil juga sudah memiliki dan mengoperasionalkan mobil pelayanan keliling yang sering dinamai UP3SK (Unit Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Keliling).

Mobil keliling ini dikaroseri sedemikian rupa layaknya ruang pelayanan, sehingga cocok dan efektif dibawa untuk pelayanan sampai ke daerah-daerah yang pelosok.

Namun sayang sekali, entah karena apa kita jarang melihat mobil ini beroperasional ke lapangan.

Cakupan dokumen pelayanan
Dokumen kependudukan yang diterbitkan dispendukcapil cukup beragam, mulai dari akte lahir, kartu keluarga, KTP elektronik, akta perkawinan, akta kematian, akta peceraian, akta pengakuan anak dan lain-lain. Namun sampai saat ini, baru Kartu Keluarga, KTP elektronik dan akta kelahiran yang sering dianggap dokumen penting yang sering diurus oleh masyarakat. Itu pun cakupannya masih belum 100 persen.

Saat ini pemerintah sedang fokus untuk menerbitkan akta kelahiran untuk anak-anak sampai 100 persen.

Untuk mencapai target ini, Pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan antara lain Permendagri No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, dan Surat Edaran No. 471/1768/SJ tentang Percepatan Penerbitan KTP elektronik dan Akta Kelahiran, pesyaratan pencatatan kelahiran dipermudah, yakni tidak perlu lagi surat pengantar dari RT, RW dan Kepala Desa atau Lurah, cukup dengan KK, KTP kedua orang tua, Surat Keterangan Lahir dan Buku/Akta Nikah.

Selain itu, Permendagri ini juga menerapkan kebijakan baru yakni SPTJM (Surat Peryataan Tanggung Jawab Mutlak) untuk menggantikan persyaratan yang tidak bisa terpenuhi seperti surat keterangan lahir dari bidan, Berita acara dari kepolisian untuk pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal usulnya atau keberadaan orang tuanya.

Dengan lahirnya permendagri ini, diharapkan akan memperluas cakupan pelayanan administrasi kependudukan khususnya pencatatan kelahiran anak.

Target Pemerintah, memperluas cakupan pelayanan adminduk menjadi prioritas pertama.

Oleh karena itu, setiap pemerintah daerah wajib melaporkan hasil cakupan pelayanan akta kelahiran dalam laporan SIAK-nya secara periodik. Untuk menjalankan program ini, sesuai hasil penelitian Institut kewarganegaraan Indonesia (IKI), ada beberapa cara yang dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu:

Pertama, memperbaiki dan memodernisasi sistem pelayanan mulai dari pelayanan di dinas kependudukan dan pencatatan sipil, membentuk dan menjalankan pelayanan di UPTD, membentuk petugas registrasi di desa-kelurahan dan memaksimalkan Pelayanan keliling.

Kedua, bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk mengumpulkan akta lahir yang pernah diterbitkan oleh dispendukcapil namun belum terdata di Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), lalu meng-entry ulang di SIAK.

Ketiga, ada kecenderungan dari dispendukcapil untuk mencetak akta kelahiran dari data SIAK yang belum tercetak, lalu menyerahkan akte tersebut ke kepala desa-lurah untuk dibagikan kepada anak-anak tersebut.

Dari ketiga cara tersebut, hanya cara pertama yang membenahi sistem, sehingga dari pelayanan yang modern dan berkesinambungan, akan didapat data penduduk yang akurat.

Sedangkan cara kedua dan ketiga, hanya "instan", yaitu data yang diperoleh sesaat bukan karena pelayanan, sehingga penduduk yang lahir, pindah, dan mati kemudian tidak tercatat lagi. Lebih parahnya, dapat menyebabkan dokumen kependudukan tercetak ganda atau diterbitkan kepada orang yang sudah pindah atau meninggal dunia.

Cakupan pelayanan haruslah didapatkan dari pelayanan yang baik dan standar, karena setiap orang akan datang ke kantor dispendukcapil ini, bukan hanya sekali tetapi berkali-kali, setiap ada peristiwa penting dalam hidupnya haruslah dicatatkan di kantor ini, termasuk ketika sudah mati pun, orang lain akan mencatatkan di sini.

Akhirnya, semua ini tergantung pada Pemerintah untuk menentukan cara yang akan dilakukan untuk mendapatkan data pilkada yang akan diserahkan kepada KPU/KPUD.

*) Prasetyadji & Swandy Sihotang adalah Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI).

Oleh Prasetyadji & Swandy Sihotang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016