Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia melihat sinyalemen dari bank sentral Amerika Serikat, The Federal Rerserve, cenderung untuk "dovish" atau lebih memilih mempertahankan rezim kebijakan moneter saat ini, mengingat belum efektifnya pemulihan ekonomi di negara Abang Sam tersebut.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Jumat, memperkirakan The Fed baru akan memanfaatkan kesempatan pengetatan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga acuan pada Desember 2016.
"Ketidakpastian pemulihan ekonomi di AS itu jadi pertimbangan bagaimana The Fed akan sikapi dalam keputusan yang akan datang (Desember 2016)," kata dia.
The Fed baru saja mempertahankan suku bunga acuannya di 0,25-0,5 persen pada Rabu malam, di tengah masih melambatnya laju ekonomi global dan risiko-risiko di pasar keuangan global, salah satunya yang bisa ditimbulkan dari Pemilihan Presiden AS, 8 November 2016 mendatang. Pelaku pasar mempercayai, The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya pada Desember 2016, karna realisasi perbaikan ekonomi AS dan laju inflasi.
BI memprediksi skenario pengetatan moneter oleh The Fed selanjutnya akan dilakukan dengan dua kali peningkatan suku bunga acuan pada 2016 sebesar masing-masing 25 basis poin dan tiga kali kenaikan pada 2018.
Sejauh ini, lanjut Perry, sinyalemen dari setiap pernyataan pembuat kebijakan The Fed selalu menunjukkan kebijakan untuk "dovish". Hal itu berbeda dengan Desember 2015, atau saat kenaikan suku bunga The Fed terakhir, di mana The Fed memberikan sinyalemen untuk agresif atau "hawkish".
"Kami lihat dari kemarin sidang Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC) bukan hanya keputusan fed rate tidak berubah, tapi juga tones (intonasi) komunikasi kebijakan yang beberapa waktu lalu cenderung hawkish, tapi dari kemarin bukan hawkish lagi bahkan dovish," ujar dia.
Perry mengatakan BI sudah mengantisipasi potensi gejolak di pasar keuangan domestik atas kebijakan The Fed di sisa tahun.
Saat ini bunga acuan The Fed atau "Fed Fund Rate" masih dipertahankan di 0,25-0,5 persen.
Perry sependapat jika bahwa Pemilihan Umum Presiden Amerika Serikat pada 8 November 2016 akan memberikan gejolak pada pasar keuangan. Namun, dampak gejolak tersebut, dinilai Perry, lebih terasa di pasar keuangan global. Sementara untuk Indonesia, dampaknya mungkin akan terasa ,namun tidak signifikan.
"Memang seminggu terakhir terjadi peningkatan uncertainty (ketidakpastian) di pasar global khususnya saham itu kami antisipasi. Tapi sejauh ini dampaknya terhadap Indonesia, itu tidak besar," kata Perry.
Terpisah, Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta mengatakan setelah sikap The Fed untuk bertahan, dolar AS mengalami pelemahan terhadap sejumlah mata uang dunia, termasuk rupiah.
"Hasil FOMC mencegah pelemahan rupiah pada perdagangan hari ini (3/11)," katanya.
Fokus pelaku pasar domestik dalam jangka pendek ini, ujar dia, selanjutnya akan tertuju pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal III 2016 serta cadangan devisa Oktober 2016.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016