Manila (ANTARA News) - Negara-negara Muslim menyerukan pemerintah Filipina dan gerilyawan Islam lokal, kemarin, menghentikan pertempuran tiga hari yang menewaskan 18 orang termasuk seorang anak-anak, dan menyebabkan ribuan orang mengungsi. Profesor Ekmeleddin Ihsanoglu, sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI), menyerukan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dan Manila mentaati perjanjian gencatan senjata tahun 1996 yang menghentikan konflik di Filipina selatan. Pasukan pemerintah menjatuhkan bom-bom seberat 125 kg dan menembakkan roket-roket ke pangkalan komandan MNLF yang membangkang Habier Malik dekat kota Panamao di pulau Jolo, Filipina selatan akhir pekan lalu setelah ia menembakkan mortir ke markas mereka, Jumat yang menewaskan seorang anak-anak yang tinggal dekat lokasi itu. Para gerilyawannya juga membunuh dua tentara dan mencederai delapan lainnya dalam satu serangan dan peluru-peluru mortir juga ditembakkan ke satu pangkalan pasukan khusus, mencederai enam tentara. Letjen Eugenio Cedo, komandan pasukan militer di wilayah selatan, mengatakan paling tidak 12 gerilyawan tewas dan pertempuran berlangsung ketika pasukan mengejar Malik dan 100 pengikutnya, yang melarikan diri ke hutan-hutan sekitar Panamao. Hampir 8.500 keluarga meninggalkan rumah mereka untuk menghindari baku tembak dan mengungsi di kota Jolo, kata seorang pejabat dari dewan yang mengkoordinasikan bencana provinsi itu. Filipina, sebuah negara berpenduduk mayoritas beragama Katolik , telah berusaha untuk mengakhiri usaha pemisahan diri warga Muslim selama puluhan tahun dan menandatangani perjanjian perdamaian dengan MNLF tahun 1996 yang dipuji sebagai penyelesaian terhadap konflik yang telah berlangsung puluhan tahun yang menewaskan 120.000 orang itu. Jesus Dureza, penasehat perdamaian pemerintah, mengatakan militer mengincer Malik dan bukan MNLF. Tapi pemboman oleh peswat-pesawat udara dan baku tembak akan membuat lebih sulit bagi pemerintah, para anggota kelompok utama MNLF dan OKI untuk menyelamatkan perjanjiaan tahun 1996 itu apabila mereka bertemu di Jeddah pertengahan Juli mendatang. Kegagalan untuk melaksanakan secara benar perjanjian MNLF itu membuat perundingan-perundingan bagi satu perjanjian perdamaian terpisah dengan kelompok gerilyawan lainnya, Front Pembebasan Islam Moro (MILF) lebih sulit, demikian Reuters.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007