Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi meminta pemerintah agar segera melakukan penyelesaian pemberian ganti rugi tunai bagi warga korban lumpur Lapindo. "Berapapun mahalnya ganti rugi, jelas lebih mahal kerugian yang ditimbulkan jika tidak segera diselesaikan," kata Hasyim saat menerima dua warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I Sidoarjo di kantor PBNU, Jakarta, Selasa. Menyangkut jumlah ganti rugi tunai yang harus dibayar, PBNU menyerahkan hitungannya pada pemerintah dan PT Lapindo Brantas Inc. "Yang penting bagaimana warga bisa hidup layak dan kembali bekerja," kata pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang, Jawa Timur tersebut. Untuk itu, tambah Hasyim, PBNU akan berkirim surat pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tembusan kepada sejumlah pihak terrkait seperti Wapres Jusuf Kalla, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Gubernur Jatim, Bupati Sidoarjo, PT Lapindo, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, dan perwakilan warga korban lumpur. "Saya akan menulis surat seobyektif mungkin. Tidak menyudutkan pemerintah, tetapi juga membiarkan warga terus menderita," katanya. Dalam menyikapi bencana semburan lumpur panas Lapindo, kata Hasyim, hendaknya presiden tidak hanya bertindak sebagai kepala pemerintahan, tetapi lebih sebagai kepala negara. "Sebagai kepala negara, presiden itu bapak bagi rakyatnya. Kalau sebagai kepala pemerintahan, penekanannya lebih pada birokrasi, prosedur, angka-angka dan lain-lain," katanya. Sebelumnya, kepada Hasyim, dua warga Perumahan TAS I, Hari Purnomo dan Sukarto, mengadukan nasib mereka, termasuk alasan mereka nekat datang ke Jakarta untuk berunjukrasa. "Gubernur dan bupati tidak menganggap kami sebagai `anak-anaknya`," kata Hari. Hari juga menuturkan berbagai penderitaan warga korban lumpur yang telah kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan mereka. "Banyak yang stress. Ada 50 orang yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Menur. Beberapa orang ditinggal lari istrinya karena tidak punya pekerjaan," katanya. Saat ditanya Hasyim mengapa tidak mau menerima opsi relokasi, Hari menjelaskan, selama ini tidak ada kejelasan di mana dan kapan relokasi dilakukan. Permintaan ganti rugi tunai mereka tuntut, selain pingin segera memulai kehidupan baru secara normal, mereka juga khawatir dipermainkan. "Soalnya banyak nunggaknya," kata Hari.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007