Jerman menjadi negara yang kuat pada Perang Dunia karena mereka unggul dalam industri baja. Jerman memiliki produksi batu bara yang melimpah dan memanfaatkannya untuk mengejar ketertinggalan industrialisasi dari Inggris yang hampir setengah abad.
Model itulah yang ditiru Korea Selatan untuk memajukan negaranya melalui pabrik baja Pohang Iron Steel Company (POSCO).
"Dulu POSCO dimulai sebagai perusahaan milik negara, sama seperti Krakatau Steel, meski sekarang sudah swasta. tapi pada masa itu POSCO tumbuh dalam dukungan dan perlindungan pemerintah Korea," kata Presiden Direktur Posco, Kim Jin Il, dalam sambutannya pada sesi pemaparan bagi para delegasi Indonesia di Sangdo Convensiona, Incheon, Korea Selatan, Selasa.
"Sejak awal, pemerintah Korea sudah memprioritaskan diri pada industri baja yang merupakan makanan pokok bagi industri lain. Hasilnya, selain bisa menghasilkan baja, juga bisa mendukung industri lain," kata dia.
Kim mengatakan, sepanjang 40 tahun pengalamannya, kunci sukses industri baja POSCO adalah adanya keharmonisan dan dukungan pemerintah serta upaya manajemen perusahaan.
"Maka dari itu, seminar perkembangan baja Indonesia ini bertujuan untuk berbagi visi peta jalan rencana pembangunan 10 juta ton kluster di Cilegon," katanya.
Pabrik baru berkapasitas 10 juta ton
POSCO akan menambah investasinya di Indonesia melalui PT Krakatau Posco, perusahaan patungan atau joint venture dengan PT Krakatau Steel Tbk. POSCO berencana meningkatkan kapasitas hingga 10 juta ton sampai 2025 mendatang.
Saat ini, produksi baja PT Krakatau Posco sebanyak tiga juta ton yang terdiri dari baja lempengan 1,5 juta ton dan baja pelat 1,5 juta ton.
"PT Krakatau Posco yang menghasilkan penjualan hingga 1,1 miliar dolar AS pada 2015, dengan pembangunan kluster baru diharapkan akan meraup hingga 5,1 miliar dolar AS. Kini, tenaga kerja yang diserap sekitar 5.333 pekerja nantinya diharapkan mampu menyerap hingga 320.000 pekerja," kata Kepala Peneliti dari POSCO Research Institute (PSORI), Kwang Sook Huh.
Selain itu, Kwang mengatakan produksi PT Krakatau Posco mampu menyeimbangkan penjualan baja dengan menutup impor dan meningkatkan ekspor.
"Kontribusi PT Krakatau Posco untuk menyeimbangkan perdagangan baja pada tahun 2015 adalah 0,93 miliar dolar AS, memperbaiki defisit baja dari 7,2 miliar dolar AS pada 2015 menjadi 6,8 dolar AS pada 2016," kata Kwang.
Permintaan industri baja untuk otomotif
Peneliti lain dari POSRI, Bu Sik Choi mengatakan pasar otomotif Indonesia mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat dalam 10 tahun belakangan. Indonesia memproduksi 1,1 juta unit kendaraan pada 2014 yang artinya 29 persen dari total yang diproduksi ASEAN.
Itu menjadikan Indonesia rangking kedua sebagai negara produsen otomotif di ASEAN setelah Thailand yang mampu memproduksi hingga 1,9 juta unit pada tahun yang sama.
"Produksi mobil Indonesia diprediksi tumbuh 5,5 persen per tahun, sementara kebutuhan baja untuk otomotif 1,7 juta ton pada 2014 yang 96 persen masih impor, 46 persennya dari Jepang," kata Bu Sik Choi.
Pada tahun 2025, diprediksi kebutuhan baja untuk otomotif sekitar 3,1 juta ton.
Sementara peneliti dari LPEM Universitas Indonesia Zakir Sakur Machmud mengingatkan kebutuhan baja Indonesia sebagian besar masih diimpor.
"Kebutuhan baja nasional kira-kira 13-14 juta ton per tahun sementara produksi domestik secara kasar sekitar enam sampai tujuh juta ton, sisanya diimpor," kata Zakir.
Untuk menguatkan industri baja ke depan, Zakir merekomendasikan Pemerintah Indoensia mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung industri, perdagangan dan investasi baja.
"Di antaranya peningkatan kapasitas produksi melalui investasi patungan, meningkatkan daya saing misalnya dengan subsidi bahan bakar, tax holiday dan lain-lain. Selain itu juga harus ada jaminan keamanan pasar domestik seperti aturan anti-dumping dan fasilitasi agar permintaan baja domestik meningkat misalnya dengan persyaratan adanya lokal konten untuk produk dan lain-lain," kata Zakir.
Menanggapi hal itu, Kepala BKPM, Thomas Trikasih Lembong, yang turut hadir, mengatakan, pemerintah memang harus lebih koheren dan berkoordinasi dalam menentukan kebijakan.
"Saya mengakui kita sering tumpang-tindih, kurang koordinasi. Tapi setelah ini, mudah-mudahan kita bisa lebih baik. Kita memang masih punya banyak hal-hal yang kurang, termasuk kebijakan pemerintah daerah, maka kita kan benahi dulu yang ngawur-ngawur ini," kata Thomas.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016