Jakarta (ANTARA News) - Pengacara PT Garuda Indonesia, M. Assegaf, berkeyakinan bahwa tidak akan terjadi Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus pembunuhan Munir, kendati ada upaya Kejaksaan Agung untuk menempuh langkah itu.
"PK itu kan upaya hukum luar biasa untuk melindungi hak terpidana, bukan untuk jaksa," kata Assegaf di Markas Besar Kepolisian Negara RI (Mabes Polri), Selasa.
Ia mengatakan, sesuai aturan dalam hukum acara, PK hanya diatur untuk terpidana atau ahli warisnya dan tidak ada aturan jaksa mengajukan PK.
"Kalau PK dilakukan maka ini akan merusak tatanan hukum kita sebab tidak ada aturan jaksa mengajukan PK," katanya.
Ia juga menilai, alat bukti yang disebut-sebut akan dipakai mengajukan PK juga lemah dan tidak bisa menunjukkan secara pasti bahwa Pollycarpus membunuh Munir dengan racun.
Pollycarpus, pilot Garuda, telah dibebaskan MA dari dakwaan membunuh Munir.
Atas keputusan MA itu, Kejaksaan Agung akan mengajukan PK sehingga meminta Polri untuk mencari bukti baru.
Polri, pekan lalu, telah menyerahkan sejumlah bukti baru kepada Kejagung.
"Lagi pula, Polly tidak bisa dituntut dua kali untuk kasus yang sama. Jadi untuk apa alat bukti itu. Mau PK? Itu tidak bisa dilakukan oleh jaksa," katanya.
Assegaf menyebutkan, seseorang bernama Ongen yang akan dijadikan saksi baru untuk kasus Munir juga tidak dapat menerangkan pasti bahwa Pollycarpus membunuh Munir.
"Keterangan Ongen itu hanya petunjuk saja, dan bukan saksi yang melihat langsung Polly menaruh racun," katanya.
Menanggapi sketsa pesawat yang dibuat Pollycarpus, ia menyebutkan, sketsa itu dibuat tiga bulan setelah Munir terbunuh dan dipakai untuk menjelaskan posisi Pollycarpus dalam pesawat.
"Polly membuat sketsa itu menjelaskan kasusnya kepada pengacaranya," katanya.
Ia juga menyebutkan, kasus jaksa mengajukan PK dalam kasus Muchtar Pakpahan (aktivis buruh) juga tidak bisa dipakai sebagai yurisprudensi untuk mengajukan PK.
"Yurisprudensi itu tidak mengikat. Mana bisa untuk dasar mengajukan PK kasus Munir?," katanya.
Lagi pula, saat itu jaksa mengajukan PK atas kasus Pakpahan atas tekanan rezim orde baru yang sangat kuat karena Pakpahan dianggap menghina Presiden Soeharto kala itu.
"Kalau jaksa pakai dasar PK kasus Pakpahan, ya sama saja kita kembali ke Orde Baru, di mana dominasi eksekutif sangat kuat," ujarnya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007