Bashiqa, Irak (ANTARA News) - Setelah dua tahun di bawah kekuasaan bengis ISIS, Ahmed akhirnya memutuskan untuk kabur, melewati para penembak jitu (sniper) ISIS di desanya di Irak utara.
Dia selamat dari muntahan peluru yang ditembakkan kepada dia dan orang lainnya yang berusaha kabur dari ISIS. Namun hidup tetap menakutkan dengan risiko dan kesulitan.
Ahmed mesti meninggalkan orang tuanya ketika berusaha kabur mengungsi ke sebuah pangkalan kecil sementara pejuang Kurdi Peshmerga yang rentan dari serangan truk-truk bom bunuh diri ISIS.
"Setelah ISIS menduduki desa kami, tidak ada lagi pekerjaan. Ayah saya kehabisan uang. Dia dan ibu saya tetap bertahan demi mengawasi mobil kami," kata Ahmaed. "Kami tak mampu membeli mobil baru."
Pasukan Irak dan Peshmerga telah membebaskan puluhan desa saat mereka bergerak maju ke kota Mosul dalam rangka ofensif merebut kembali benteng besar terakhir ISIS di Irak.
Momentum itu menguatkan hati orang-orang Irak seperti Ahmed untuk mengambil risiko kendati sudah diperingatkan oleh kelompok militan paling ditakuti dan paling bengis di dunia itu bahwa siapa pun yang berusaha kabur dari khilafah, akan ditembak mati.
Pelan-pelan muncul kesaksikan-kesaksian dari desa-desa dan kota-kota yang berhasil dibebaskan dari ISIS mengenai kekejaman ISIS dalam menerapkan interpretasi ultra garis kerasnya soal Islam.
Duduk menghadapi sebuah piring plastik sembari mencompot nasi dan ayam goreng, Ahmed bicara pelan-pelan, kelelahan dan membayangkan apa yang akan terjadi pada saudaranya yang masih ada di desa.
"Ketika Daesh (ISIS) datang dua tahun lalu kami semua mengira mereka hanya di sini untuk beberapa minggu karena tentara Irak akan datang mengusir mereka," kata Ahmed yang meminta hanya disebut nama depannya demi melindungi orang-orang terkasihnya yang masih ada di desa itu.
Tentara Irak ambruk di depan gerak maju cepat ISIS yang menyapu Irak utara pada 2014.
Kelompok militan itu kemudian menduduki Mosul --kota terbesar kedua Irak-- dan menelan desa-desa seperti Abu Jarbouh di mana orang tua Ahmed masih hidup dalam ketakutan terhadap ISIS yang mengendalikan setiap aspek kehidupan, sampai masalah jenggot.
Seluruh keluarganya secara tidak langsung telah menjadi sandera di desanya sendiri selama dua tahun.
"Kami keluar rumah sebulan sekali menuju Mosul untuk mengambil makanan dan pasokan lainnya," kata Ahmed yang memutuskan berhenti mengajar setelah mendengar apa yang dilakukan ISIS di sekolah-sekolah.
"Kabar sampai ke telinga saya bahwa mereka sebenarnya mengajarkan anak-anak muda untuk memenggal atau menembak orang," kata Ahmed.
PBB telah memperingatkan bahwa ISIS telah menjadikan ribuan orang sebagai tameng hidup selama ofensif Mosul.
"Saya tak pernah mengira kami bisa selamat dari Daesh. Tuhan telah menurunkan rahmatnya kepada kami," kata Ahmed seperti dikutip Reuters.
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016