"Kalau mereka (pelaku terorisme) terbukti belajar dan mengambil paham itu dari internet, ya internetnya harus dibersihkan. Dalam hal ini Kemenkominfo harus memblokir situs-situs yang mengajarkan ketidakbenaran dan kekerasan tersebut," kata Azyumardi di Jakarta, Kamis.
Pernyataan Azyumardi itu menanggapi fenomena aksi terorisme yang dilakukan perseorangan (lone wolf) yang diduga kuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akibat terpengaruh propaganda radikalisme di dunia maya.
Tahun ini setidaknya terjadi tiga aksi lone wolf, yakni penyerangan pendeta di sebuah gereja di Medan, aksi bom bunuh diri di Mapolresta Solo, dan aksi penyerangan anggota polisi di Tangerang.
Menurut mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu kelompok radikal teroris memang cenderung intoleran dan gampang mengkafirkan orang lain yang tak sealiran dengan mereka.
"Itu bukanlah suatu argumen yang baru, saya kira masyarakat Muslim secara keseluruhan tidak setuju dengan pandangan itu," kata Azyumardi.
Ia mengajak para ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia untuk proaktif memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ciri-ciri paham radikalisme dan terorisme agar masyarakat tidak terpengaruh.
"Saya melihat fitnah atau propaganda yang dilancarkan kelompok radikal ini sudah sangat banyak. Kalau masyarakat asal menerima saja tanpa mengetahui asal usulnya ya bisa bahaya. Kalau sampai itu terjadi mau jadi apa negeri kita ini nanti," kata Azyumardi.
Untuk menangkal penyebaran paham radikalisme dan terorisme agar tidak berkembang di masyarakat, Azyumardi menyarankan agar seluruh elemen masyarakat ikut berperan aktif melakukan pengawasan mulai dari tingkat keluarga, masjid, lingkungan RT/RW, dan seterusnya.
"Kalau sudah ada gejala ajaran seperti itu harus cepat diambil tindakan. Misalnya di keluarga ada anak-anak mulai ikut-ikutan dan bersikap aneh, harus diajak ngomong atau diajak dialog oleh orang tuanya atau ulama di lingkungannya," katanya.
Pernyataan Azyumardi itu menanggapi fenomena aksi terorisme yang dilakukan perseorangan (lone wolf) yang diduga kuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akibat terpengaruh propaganda radikalisme di dunia maya.
Tahun ini setidaknya terjadi tiga aksi lone wolf, yakni penyerangan pendeta di sebuah gereja di Medan, aksi bom bunuh diri di Mapolresta Solo, dan aksi penyerangan anggota polisi di Tangerang.
Menurut mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu kelompok radikal teroris memang cenderung intoleran dan gampang mengkafirkan orang lain yang tak sealiran dengan mereka.
"Itu bukanlah suatu argumen yang baru, saya kira masyarakat Muslim secara keseluruhan tidak setuju dengan pandangan itu," kata Azyumardi.
Ia mengajak para ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia untuk proaktif memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ciri-ciri paham radikalisme dan terorisme agar masyarakat tidak terpengaruh.
"Saya melihat fitnah atau propaganda yang dilancarkan kelompok radikal ini sudah sangat banyak. Kalau masyarakat asal menerima saja tanpa mengetahui asal usulnya ya bisa bahaya. Kalau sampai itu terjadi mau jadi apa negeri kita ini nanti," kata Azyumardi.
Untuk menangkal penyebaran paham radikalisme dan terorisme agar tidak berkembang di masyarakat, Azyumardi menyarankan agar seluruh elemen masyarakat ikut berperan aktif melakukan pengawasan mulai dari tingkat keluarga, masjid, lingkungan RT/RW, dan seterusnya.
"Kalau sudah ada gejala ajaran seperti itu harus cepat diambil tindakan. Misalnya di keluarga ada anak-anak mulai ikut-ikutan dan bersikap aneh, harus diajak ngomong atau diajak dialog oleh orang tuanya atau ulama di lingkungannya," katanya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016