Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat Perikanan Nusantara mendukung langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam upaya meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, mengingat menjadi salah satu komponen pendapatan negara itu digunakan membangun infrastruktur perikanan.
"Pajak pada sektor perikanan akan naik bila industri perikanan dari hulu sampai hilir dipulihkan dan dilakukan evaluasi terhadap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang harus pro-terhadap dunia usaha," kata Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Ono Surono dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, bila dikatakan pajak dari sektor perikanan sangat rendah maka sudah saatnya permasalahnya di buka sejelas-jelasnya mengingat saat ini sektor pajak perikanan sangat rendah.
Dikatakan, sekitar 11 persen dari 252 juta atau hanya 27 juta penduduk Indonesia yang mempunyai NPWP, sehingga masalah NPWP bukan masalah di sektor perikanan saja tetapi hampir di seluruh sektor usaha.
Apalagi, katanya, rumah tangga perikanan yang jumlahnya hanya 0,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia menjadi bagian yang kecil dibanding dengan jumlah total penduduk Indonesia.
Kemiskinan rumah tangga perikanan pun masih menempati posisi yang tertinggi karena 97 persen perikanan tangkap masih didominasi nelayan kecil.
Pembudidaya ikan dan petambak garam bernasib sama. Nilai Tukar Pembudi daya Ikan (NTPI) tahun 2015 rata-rata diangka 99 poin sehingga dapat dikatakan pembudidaya ikan tersebut merugi.
Sementara masalah garam produksi petambak yang menumpuk tidak terjual karena industri juga belum mampu menyerap maksimal dengan alasan kualitas apalagi impor garam dilakukan secara besar-besaran seperti tidak terkendali.
Belum lagi kebijakan yang dibuat Kementerian Kelautan dan Perikanan yang cenderung mematikan dunia usaha perikanan sehingga menambah pengangguran, seperti Moratorium Kapal yang mengakibatkan 1.132 Kapal tidak beroperasi dan 35 ribu orang mengganggur.
Pelarangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan yang mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Di Kabupaten Tabanan, Bali, misalnya produksi lobster mencapai 1,2 miliar perbulan, tetapi setelah ada kebijakan pelarangan hanya 80 juta perbulan.
Akibat dibatasinya akses kapal pembeli dari Hong Kong dari semula diperbolehkan bebas berbelanja ke 36 kawasan budi daya menjadi hanya 12 titik, mengakibatkan ekspor merosot drastis dari yang semula bisa menjual 4.500 ton per tahun menjadi hanya 900 ton.
"Akibatnya negara kehilangan devisa sebesar 54 juta dolar AS per tahun dan 100.000 kepala keluarga pembudidaya kehilangan penghasilan dan 75 persen UMKM budi daya ikan kerapu dimatikan," tuturnya.
Demikian juga perpanjangan perizinan kapal 30 GT ke mencapai 3-9 bulan dari yang sebelumnya sebelumnya hanya 14 hari juga faktor kerugian nelayan yang sangat besar, apalagi nelayan harus membayar Pungutan Hasil Perikanan (PHP).
Sebenarnya, katanya, Menteri Keuangan sudah membuat jenis pajak baru pada sektor perikanan, yaitu Pajak Bumi Bangunan (PBB) Laut yang dipungut per kapal perikanan walau masih belum kepada seluruh kapal perikanan tetapi kapal dengan ukuran 30 GT keatas, namun sudah berjalan satu tahun yang lalu.
Padahal, sejatinya objek pajak PBB adalah atas nilai kepemilikan bukan atas besarnya penghasilan. Kapal bukanlah kepemilikan, namun sarana usaha nelayan yang bukan objek pajak PBB.
"Dengan demikian PBB Laut adalah ilegal karena memungut pajak bukan dari objek pajaknya," ucapnya.
MPN berharap Menteri Keuangan bisa melakukan pendalaman terhadap wajib pajak dan calon wajib pajak pada sektor perikanan.
Dengan upaya untuk peningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, sekaligus bisa menjadi pintu masuk untuk mengurai masalah usaha pada sektor perikanan yang bisa menjadi rekomendasi kepada Presiden untuk menerbitkan paket kebijakan ekonomi di sektor perikanan.
Bisa saja Menteri Keuangan menginisiasi selain tarif 0 persen pajak ekspor ikan, juga pemberian insentif bagi industri yang melakukan ekspor ikan dan industri perikanan padat karya.
Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016