Batam (ANTARA News) - Masyarakat Batam yang menamakan diri Melayu Melawan membentuk gerakan menolak Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.148/PMK.05/2016 dan Peraturan Kepala BP Batam No.19 tahun 2016 mengenai kenaikan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).
"Dengan tegas kami menolak PMK dan Perka BP Batam sebagai dasar kenaikan UWTO tersebut. Bagi kami kenaikan ini pelan-pelan akan mengusir kami dari tanah kelahiran," kata Pendiri Gerakan Melayu Melawan, Okta Robin di Batam, Rabu.
Kenaikan tarif tersebut, kata dia, telah menimbulkan kegelisahan dikalangan masyarakat Batam termasuk masyarakat Melayu yang jauh sebelum Otorita Batam (saat ini BP Batam) berdiri sudah mendiami Pulau Batam.
"Kami ingin tempat kami aman. Kami bisa hidup tenang ditempat sendiri tanpa harus khawatir suatu saat terusir karena tidak mampu bayar UWTO. Kegelisahan ini tidak hanya dirasakan oleh kami yang merupakan penduduk tempatan, masyarakat lain pun merasakan hal yang sama karena tidak ada kepastian akan tempat tinggal mereka," kata dia.
Okta yang didampingi sejumlah pemuda Melayu lain seperti Amirullah, Fahrul Anshori, Rahmad Wahid, Rahmatunnisa mengatakan telah bersepakat untuk menyampaikan penolakan tersebut secara langsung ke Kantor BP Batam pada Rabu 2 November 2016 sebagai bentuk gerakan penolakan.
"Kami sudah sampaikan pemberitahuan mengenai rencana aksi ribuan penduduk Batam di kantor BP Batam. Tidak hanya dari kami saja, namun sejumlah elemen akan bergabung untuk sama-sama menolak kenaikan tersebut," kata Okta.
Sebelumnya sejumlah pihak seperti pengusaha termasuk seluruh DPD RI daerah pemilihan Kepri juga menyampaikan penolakannya terjadap kenaikan UWTO di Batam.
Koordinator Umum gerakan Melayu Melawan Amirullah menilai akhir-akhir ini banyak kebijakan dari BP Batam yang memberatkan dan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Batam.
"Kami berterimakasih pada Otorita Batam yang saat ini menjadi BP Batam atas jasanya membangun Batam. Namun akhir-akhir ini banyak kebijakan yang tidak sesuai dan justru merugikan masyarakat," kata dia.
Ia mencontohkan, permasalahan pengukuran Kampung Tua di Batam yang berlarut-larut dan tidak kunjung ada kepastian.
"Kenapa untuk hal itu saja tidak selesai. Jangan salahkan kami jika menganggap keberadaan BP Batam sudah tidak diperlukan lagi. Menurut kami kalau seperti ini kami akan mendesak Presiden Joko Widodo untuk membubarkan BP Batam dan menyerahkan segala urusan ke pemerintah daerah," kata Amir.
Saat ini, kata dia, BP Batam hanya memanfaatkan letak Pulau Batam yang strategis tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat asli yang berdomisili sejak lama pada wilayah tersebut.
"Batam tidak ada istimewanya lagi. Semua sama saja. Serahkanlah pada pemerintah yang ada. Jangan sampai dualisme ini memperuncing sehingga masyarakat menjadi korban," kata dia.
Pewarta: Larno
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016