Nusa Dua (ANTARA News) - Negara-negara pesisir Samudra Hindia, jalur perdagangan utama dunia, masih belum menyepakati agenda perundingan keamanan untuk menurunkan tingkat perompakan yang sangat tinggi, kata Benyamin Carnadi, Direktur Kerja Sama Intrakawasan Asia Pasifik dan Kawasan Kementerian Luar Negeri, pada Selasa.
Gagalnya agenda kesepakatan keamanan tersebut terjadi pada pertemuan hari pertama pejabat-pejabat tinggi dari 21 negara anggota Asosiasi Negara-Negara Pesisir Samudra Hindia (IORA) di Nusa Dua.
"Meski poin ini belum disepakati, kami masih yakin pada hari kedua negara-negara anggota akan menyepakatinya," kata Carnadi kepada sejumlah wartawan.
Samudra Hindia adalah salah satu rute perdagangan laut paling sibuk di dunia, terutama untuk pengiriman minyak mentah--sekitar 50 persen perdagangan minyak mentah melewati area tersebut. Wilayah ini menghubungkan kawasan produsen minyak Timur Tengah dengan importir energi besar seperti India dan China. Beijing mendatangkan 80 persen kebutuhan energi mereka dari jalur Samudra Hindia.
Namun, ramainya rute perdagangan ini memunculkan persoalan keamanan berupa perompakan di negara-negara pesisir Hindia yang miskin seperti Somalia. Di pesisir negara tersebut, perompakan membuat dunia mengalami kerugian ekonomi sebesar 2,3 milyar dolar AS tahun 2014 lalu, kata lembaga Oceans Beyond Piracy yang berkantor di Colorado, Amerika Serikat.
Bahkan di negara yang relatif sudah berkembang seperti Indonesia, perompakan masih menjadi persoalan besar. Majalah The Economist menyebut Selat Malaka sebagai pusat perompakan dunia paling berbahaya. Sebanyak 41 persen perompakan kapal di dunia terjadi di wilayah ini sepanjang dua dekade terakhir, jauh melampaui Somalia dan sekitar yang hanya 28 persen.
Situasi gawat tersebut tidak membuat negara-negara pesisir Hindia cepat bertindak dengan menyepakati langkah-langkah bersama penanganan perompakan. Terbukti dari alotnya perundingan yang berlangsung di Nusa Dua.
Carnadi sendiri yakin bahwa negara-negara tersebut pada akhirnya akan menyepakati agenda perundingan yang rencananya akan disepakati pada pertemuan puncak IORA pada tahun depan.
"Saya masih yakin karena berbeda dari sebelumnya, negara-negara pesisir Hindia sudah lebih nyaman membicarakan persoalan keamanan," kata Carnadi.
Dia tidak mau mengungkap apa yang menyebabkan alotnya perundingan di tingkat pejabat tinggi tersebut. Namun Carnadi menambahkan, kepemimpinan Indonesia di IORA tahun ini merupakan suatu faktor penting yang membuat para anggota lebih terbuka.
"Kepemimpinan Indonesia dinilai netral tanpa kepentingan. Inilah salah satu misi kami di Samudra Hindia, agar wilayah ini tidak menjadi proyeksi pertarungan kepentingan negara-negara besar," kata Carnadi.
Dia tidak menjelaskan lebih jauh mengenai hal tersebut. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara besar di Samudra Hindia yang relatif berdiri netral terhadap pertarungan kepentingan antara China (yang bukan merupakan anggota IORA namun menjadi mitra dialog) dengan India, kata sejumlah pengamat.
Di Samudra Hindia, China tengah membangun ulang jalur sutra maritim dengan dana 40 milyar dolar. Mereka membiayai proyek-proyek infrastruktur di kawasan Asia Selatan seperti Bangladesh, Pakistan, dan Sri Lanka.
Sementara India, negara yang menganggap diri sebagai pemimpin di Asia Selatan dan bersengketa wilayah dengan China, juga bersaing berebut pengaruh di kawasan yang sama. Menurut lembaga penelitian Council on Foreign Relations, India semakin khawatir akan meningkatnya jumlah kapal-kapal perang di China di Samudra Hindia.
Carnadi tidak menanggapi pertanyaan wartawan terkait apakah persaingan antara India dan China merupakan salah satu penyebab sulitnya agenda perundingan keamanan di IORA.
Pewarta: GM Nur Lintang
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016