Jakarta (ANTARA News) - Pengamat terorisme Ansyaad Mbai mengatakan pelaku teror tunggal atau yang dikenal dengan istilah lone wolf dibentuk melalui media sosial dengan berbagai propaganda oleh kelompok radikal-teroris.
"Untuk menjadi radikal, mereka tidak perlu bertemu seseorang atau kelompok serta tidak perlu datang ke suatu tempat untuk berbaiat, tapi cukup melalui gadget, mereka bisa teradikalisasi," kata Ansyaad di Jakarta, Selasa.
Ansyaad mengatakan kelompok radikal sangat lihai memainkan propaganda melalui media sosial atau dunia maya. Mereka menjerat pengikutnya dengan meracuni pemikiran, semisal dengan diberikan tayangan video kejadian mengerikan di Timur Tengah.
Salah satunya video tentang aksi Amerika Serikat, NATO, dan sekutu lainnya yang menindas dan membantai kelompok radikal yang mengklaim sebagai umat Muslim.
"Dari situ timbul rasa empati, dan secara perlahan mulai terjadi self radicalization yang kemudian menumbuhkan motivasi menjadi lone wolf," kata dia.
Tercatat tiga aksi lone wolf terjadi di tahun 2016. Diawali aksi penyerangan Mapolresta Solo, kemudian penyerangan pendeta di sebuah gereja di Medan, dan terakhir penyerangan petugas kepolisian di Tangerang.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pertama ini juga menjelaskan bahwa terjadinya lone wolf tidak lepas dari banyak terungkapnya aksi-aksi terorisme yang dilakukan secara berkelompok.
"Mereka berpikir aksi kelompok akan lebih mudah dideteksi aparat keamanan dibandingkan dengan aksi sendirian," katanya.
Untuk mendeteksi sekaligus mencegah terjadinya lone wolf, Ansyaad menegaskan agar upaya-upaya penindakan secara fisik harus lebih digencarkan.
Selain itu, juga harus diwaspadai para jihadis dan FTF (foreign terrorist fighter), para pengikut ISIS asal Indonesia yang pulang dari Suriah dan Irak.
"Dari informasi yang saya dapat, sudah lebih dari 50 FTF yang kembali ke Indonesia, tapi yang baru ditangani pengadilan baru 11 orang. Sisanya ke mana?," kata mantan Kapolda Sumatera Utara ini.
Upaya lainnya adalah dengan mengimbau kepada keluarga dan masyarakat agar memproteksi lingkungan dari penyebaran paham radikal. Menurutnya, ciri paham radikal paling menonjol adalah ucapan mereka yang mengkafir-kafirkan orang lain serta menyerukan jihad.
Dalam hal ini, Ansyaad menilai peran ulama sangat vital. Ia mengimbau agar ulama lebih proaktif menyebarkan pemahaman agama Islam yang rahmatan lil alamin dan moderat ke tengah masyarakat.
"Langkah itu harus didukung penguatan kerja sama dari berbagai lembaga pemerintah terkait seperti BNPT, Polri, TNI, Kementerian Agama dengan organisasi masyarakat MUI, NU, Muhammadiyah," katanya.
Menurut Ansyaad, selama ini Polri selalu terbentur undang-undang dalam menindak pelaku provokasi dan penyebar paham radikal, mengkafir-kafirkan orang, serta SARA.
"Saya optimis bila UU Terorisme itu sudah disahkan, kita tidak akan mudah kecolongan aksi-aksi terorisme," kata Ansyaad.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016