"Hal ini tentu patut kita apresiasi," katanya dalam pernyataan di Jakarta, Senin, terkait evaluasi dua tahun Pemerintahan Jokowi di bidang kesehatan.
Meski telah memenuhi amanat UU, namun sayangnya besaran anggaran kesehatan belum berbanding lurus dengan capaian di bidang kesehatan. "Seperti masih banyaknya jumlah angka anak pendek karena kekurangan gizi (stunting) yang mencapai 30 persen, padahal merujuk WHO angka ideal di bawah 20 persen," katanya.
Di samping itu, masih tingginya laju pertumbuhan penduduk. Mestinya jika 2030 Indonesia akan memaksimalkan bonus demografi maka syarat utama penduduknya harus sehat.
Jika tidak sehat justru akan menjadi beban. "Karena itu, masalah-masalah tersebut harus segera diselesaikan," kata politisi dari Fraksi PPP ini.
Menurut dia, Kementerian Kesehatan masih memiliki banyak "tunggakan" aturan turunan pelaksana UU berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang belum dituntaskan. Seperti PP yang terkait turunan UU Kesehatan Jiwa, PP terkait UU Rumah Sakit tentang RS yang menolak pasien danPP tentang Doker Layanan Prima (DLP) sebagaimana amanat UU Pendidikan Kedokteran.
Sejumlah "utang" regulasi dari pemerintah tersebut pada akhirnya mengakibatkan kerja di sektor kesehatan pemerintah tidak maksimal. Presiden perlu mengontrol para pembantunya untuk bergerak cepat dalam kerja legislasi.
Kementerian Kesehatan sampai saat ini juga dinilai perlu ada kebijakan yang sifatnya terobosan. Justru yang menonjol dari Kementerian Kesehatan ini hanya meneruskan kebijakan yang lama.
Dengan alokasi anggaran yang meningkat perlu adanya kebijakan terobosan yang memiliki daya ubah yang nyata. "Seperti mengapa tidak Presiden menerbitkan Dokter Inpres untuk menempatkan dokter/tenaga kesehatan di luar Jawa atau daerah terdepan," katanya.
Karena faktanya masih ada disparitas dokter/tenaga kesehatan antara Jawa dan luar Jawa. "Karena dalam kenyataannya program Nusantara Sehat yang digulirkan pemerintah sepi peminat," kata Sekretaris Dewan Pakar DPP PPP ini.
Kementerian Kesehatan juga harus mendorong adanya "research and development" (penelitian dan pengembangan) dengan melibatkan universitas dan perusahaan swasta terkait dengan pemberdayaan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan produksi obat-obatan. "Hingga saat ini, di sektor ini belum digarap dan belum mendapat perhatian serius," katanya.
Di sisi lain, persoalan yang muncul dalam pelayanan BPJS Kesehatan juga masih mencuat di lapangan. Seperti pasien peserta BPJS ditolak RS.
Ini salah satunya karena paket INA CBGs (sistem pembayaran dengn sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita) yang dinilai tidak menguntungkan pihak rumah sakit. Karena itu, pemerintah semestinya melakukan terobosan.
"Misalnya dengan memberi insentif pajak bagi rumah sakit yang menjadi mitra BPJS," katanya.
"Misalnya dengan memberi insentif pajak bagi rumah sakit yang menjadi mitra BPJS," katanya.
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016