Jabatan kepresidenan terbatas selama satu masa kerja lima tahun dalam amandemen konstitusi 1987 lalu, yang mengakhiri kediktatoran militer, menjadi penghalang terhadap perkembangan lebih jauh negara itu, kata Park.
"Dengan masa kepresidenan satu kali, sulit mempertahankan keberlangsungan kebijakan, melihat hasil kebijakan dan terlibat dalam kebijakan asing bersatu," kata Park dalam pidato di parlemen.
Park, wanita pertama menjadi presiden terpilih Korea Selatan, dalam tahun keempatnya sebagai presiden, yang berakhir pada Februari 2018.
Jajak pendapat pada Juni menunjukkan hasil 70 persen warga Korea Selatan merasa bahwa konstitusi saat ini sebaiknya diubah dan 40 persen menginginkan masa jabatan presiden selama dua kali masa jabatan, masing-masing empat tahun.
Presiden Park meminta parlemen untuk membentuk sebuah komite khusus dengan segera untuk memulai pembahasan terkait perubahan konstitusi.
Di Korea Selatan, presiden atau parlemen dapat mengajukan amandemen, yang harus disetujui oleh duapertiga mayoritas di satu majelis, dan kemudian diterima dalam referendum nasional.
"Saya mencapai sebuah kedimpulan bahwa kami tidak dapat lagi menunda pembicaraan terkait amandemen konstitusi, yang juga merupakan janji kampanye saya, untuk menyingkirkan batasan-batasan yang kami hadapi dalam gambaran besar perkembangan berkelanjutan Korea Selatan," kata Park.
Meskipun terjadi kesepakatan umum luas terkait keperluan mengubah konstitusi, belum jelas bagaimana perdebatan terkait perubahan, dengan kekuatan politik di Korea Selatan terbagi atas kepresidenan kuat dan parlemen penuh dengan perbedaan.
Beberapa politisi lain selain Park juga meminta masa kepresidenan selama dua kali untuk mengizinkan pemberlakuan kebijakan jangka panjang yang lebih stabil.
Presiden disebutkan ingin membentuk sistem parlementer, dengan perdana menteri memiliki lebih banyak kekuatan eksekutif daripada presiden negara itu.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016