"Sudah lama, sejak SD. Waktu itu hanya main-main saja. Kebetulan kakak-kakak saya, ayah saya bisa catur semua. Saya memperhatikan," ujar dia kepada ANTARA News usai pertandingan perebutan perunggu kategori Blind Chess perorangan putri, Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV/2016, Bandung, Minggu.
"Saya mengandalkan daya ingat. Menghapalkan susunannya, sambil diraba-raba," sambung Tati.
Perempuan yang tergabung dalam pelatnas sejak 2011 itu menuturkan, ada bidak dan papan catur khusus mereka yang tuna netra.
"Kalau kami berbeda caturnya. Ada pembeda antara yang hitam dan putih. Kami ada tandanya. Yang hitam biasanya ada pakunya, kalau di papan yang tinggi itu hitam," kata dia.
Kendati begitu, sebenarnya mereka yang menyandang tuna netra bisa memainkan bidak catur pada umumnya.
Masalah bisa atau tidak lalu kemampuan bermain, Tati mengatakan hal ini tergantung pada bakat dan usaha.
"Karena itu berhubungan dengan bakat. Kalau yang bukan bakat tetap susah. Beda yang sudah alami. Kalau saya termasuk bakat, sudah hobi. Setiap hari main, kalau hobi enggak ada bosen-bosennya," tutur Tati.
"Catur Melatih kesabaran, ketelitian, kalau bisa mengaplikasikan kehidupan sehari-hari," imbuh dia yang baru mengalami keterbatasan daya lihat di usia lima tahun itu.
Sejak masuk pelatnas, Tati sudah mengikuti beragam kompetisi antara lain ASEAN Para Games 2011 di Solo, Peparnas 2012 di Riau dan ASEAN Para Games 2014 di Myanmar.
"Alhamdulillah waktu di Riau dapat satu emas untuk nomor catur cepat dan satu perak untuk catur standar tuna netra. Untuk ASEAN Para Games tiga emas yakni perorangan cepat. Standar perorangan, beregu cepat," kata dia.
Di Peparnas 2016, Tati sukses merebut tiga emas, satu perak dan satu perunggu. Ketiga emas berasal dari nomor catur standar, catur cepat, beregu cepat, berenggu standar.
Kemudian perak untuk nomor standar perorangan dan perunggu untuk kategori blind cheese.
"Ini sesuai target saya," kata dia.
Wasit catur
Salah satu wasit catur di Peparnas, Zul Taroreh mengatakan pecatur tuna netra cenderung sensitif ketimbang mereka yang tuna daksa ataupun tuna rungu dan wicara.
"Yang tuna netra lebih sensitif, bisa jadi memang karena karakternya," kata dia dalam kesempatan berbeda.
Berbeda dari pertandingan pada umumnya, pertandingan catur untuk para tuna netra biasanya mengharuskan wasit menjalankan tugas tambahan seperti membantu memindahkan bidak dan menyebutkan perpindahannya (sesuai permintaan atlet) dan mengatur jam.
Kadangkala, sambung Zul, mereka yang tua netra bisa sangat emosional apabila merasa wasit merugikannya.
"Kalau dirugikan misalnya akibat kesalahan wasit, bisa berteriak, lempar handuk, lalu minta langkah diulang. Ini terjadi di babak pertama Peparnas beberapa hari lalu," kata dia.
Dalam pertandingan yang mempertemukan sesama pecatur tuna netra ataupun tuna netra dengan tuna daksa/wicara/rungu, biasanya ada seorang petugas yang membantu memindahkan bidak catur.
Dalam pertandingan yang mempertemukan sesama pecatur tuna netra ataupun tuna netra dengan tuna daksa/wicara/rungu, biasanya ada seorang petugas yang membantu memindahkan bidak catur.
Dia juga membacakan pesan tertulis lawan (bila menderita tuna daksa/rungu/wicara) pada pecatur tuna netra dan wasit.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016