"Agar pemakaian kuota lebih optimal dan tidak ada sisa, maka sebaiknya diberikan payung hukum yang jelas. Hal ini untuk memperbaiki sistem kuota haji," ujar Bailuki di Jakarta, Jumat.
Optimalisasi penggunaan kuota haji dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, yakni kuota dari undangan Raja Arab Saudi, keluarga raja, perorangan dan lembaga kerajaan.
Kedua, lanjut dia, pemanfaatan kuota haji dari sisa kuota negara sahabat dan tetangga dekat Indonesia yang tidak terpakai.
Ketiga, kuota haji Indonesia dapat dioptimalkan dengan sistem batal ganti yang pernah diterapkan sebelumnya dengan perbaikan sistem.
"Pengaturan, sistem pengelolaan dan optimalisasi kuota ini sebaiknya diberikan payung hukum yang jelas berupa UU."
Dalam hal ini, kata dia, termasuk dalam pembahasan Badan Layanan Umum (BLU) haji. Sistem pengelolaan kuota haji yang lebih baik disertai payung hukum berupa UU yang jelas, sangat diperlukan untuk mengatur distribusi kuota haji antardaerah yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Saat ini, antrean haji di beberapa daerah cukup lama. Di salah satu daerah di Sulawesi Selatan misalnya, antrean haji mencapai 42 tahun.
Sementara, sisa tunggu kuota di travel mencapai enam tahun.
"Pemerintah perlu melakukan lobi ke pemerintah Arab Saudi. Sangat ironis, jika terjadi sisa kuota haji di satu pihak, sementara daftar tunggu kuota haji kita sangat lama," katanya.
Dalam kesempatan itu, dia juga meminta pemerintah untuk memberikan perpanjangan izin usaha yang semula tiga tahun menjadi minimal enam tahun.
Hal tersebut, merupakan konsekuensi dari masa tunggu kuota haji yang relatif lama dan merupakan jaminan kepastian usaha bagi PIHK sebagai penyelenggara haji khusus.
"Kami juga berharap pemerintah memangkas dan mempermudah proses birokrasi perpanjangan izin usaha ini," katanya.
Dalam waktu dekat, Himpuh juga akan mengadakan musyawarah besar ketiga di Makassar, 22 hingga 24 tahun.
(I025)
Pewarta: -
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016